Jumat, 14 Juni 2013

Masa Depan Peradaban Islam (ending)

Peradaban Barat: Hegemoni yang Rapuh

Sejak runtuhnya Kekhilafahn Turki Utsmani tahun 1924, dunia saat ini memang berada dalam genggaman hegemoni peradaban Barat. Hegemoni itu antara lain ditandai oleh dominannya pengaruh negara-negara maju terhadap konstelasi politik dan ekonomi dunia saat ini. Jika diadakan survei jajak pendapat tentang negara-negara tersukses di dunia saat ini, orang akan cenderung menyebut sejumlah negara-negara industri maju seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, Perancis, Jepang, Jerman Italia dan Canada. Negara-negara ini dikenal sebagai kelompok G7. Menyusul mereka adalah negara-negara Barat lainnya seperti Swiss, Swedia, Negeri Belanda, Australia dan sebagainya. Di bawahnya baru menyusul negara-negara ekonomi baru (macan Asia), seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Malaysia, Cina dan India.

Namun demikian, seluruh "success story" itu tidak boleh menutup mata kita pada kebobrokan mendasar yang ada dalam peradaban Barat kapitalis-sekular yang sedang dipraktikkan di negara-negara itu. Kebobrokan itu mau tidak mau akan dirasakan dalam jangka panjang atau dimensinya tak lagi lokal, namun global. Berikut ini hanyalah beberapa di antara tanda kebobrokan itu.

1. Kekeringan Spiritual.
Mungkin kemajuan pembangunan fisik dan materi Barat sangat mengesankan, namun pondasi dan tatanilai kehidupannya sesungguhnya amat rapuh. Akibatnya, kekeringan spiritual dan degradasi moral menjadi gejala umum. Kita melihat, kebanyakan orang Barat saat ini memang akhirnya meraih sukses secara material. Namun, pada saat yang sama, banyak di antara mereka yang mengidap beragam penyakit sosial semacam hedonisme, yang bahkan berdampak pada munculnya penyakit-penyakit psikologis yang sangat berbahaya. Para pakar ilmu sosial Barat sendiri telah mengakui hal ini. A. Sorokin menyebut adanya “The Crisis of Our Age”; Luis Leahy menyebut terjadinya “kekosongan ruhani, sebagaimana digambarkan dalam bukunya, Esai Filsafat untuk Masa Kini (1991); Carl Gustave Jung menyebut terjadinya “kegersangan psikologis”. Eric Fromm menyebut adanya alienasi (keterasingan). Barat juga termasuk bangsa dengan angka degradasi moral dan angka kriminalitas yang tinggi. Itulah di antara bentuk kerapuhan masyarakat Barat saat ini yang maju secara material.

2. Kesenjangan Kaya-Miskin.
Kesenjangan kaya-miskin adalah fenomena dunia yang sebenarnya baru terjadi kurang dari seabad terakhir. Pada saat ini, 20% penduduk dunia (The Club of Rich) memiliki 83% kekayaan dunia, mengendalikan 81% perdagangan dunia, mendapatkan 81% hasil investasi, seraya menggunakan 70% energi, 85% persediaan kayu dunia, dan 60% pangan. Perbandingan pendapatan 20% penduduk terkaya dunia dengan 20% penduduk termiskin dunia adalah 60 berbanding 1[1].

Pada tahun 1980, misalnya, untuk mendapatkan satu lokomotif dari Swiss, negara berkembang dapat menukar dengan 12910 karung kopi. Sepuluh tahun kemudian (1990), mereka membutuhkan 45800 karung kopi! Tren ini terus memburuk sejak perdagangan bebas ala WTO diterapkan.[2]

Untuk sekuntum bunga cengkeh yang dipetik di Kolumbia (Amerika Latin), petaninya mendapatkan kurang lebih 4 sen-dolar. Bersama biaya produksi dan margin profit, total sebesar sekitar 10 sen-dolar akan tinggal di Kolumbia. Di pasar Eropa, harga akhir dari sekuntum bunga cengkeh ini adalah 1 dolar! Keuntungan yang terbesar dinikmati oleh para pedagang. Para pedagang kelas dunia ini didominasi para kapitalis besar![3]

3. Hancurnya Keluarga.
Hancurnya sebuah peradaban sering dimulai dari hancurnya keluarga. Keluarga adalah benteng terakhir yang mempertahankan nilai-nilai luhur, kasih sayang dan kebahagiaan. Ketika keluarga hancur maka seseorang yang tumbuh dewasa akan kehilangan acuan tentang makna hidup dan kebahagiaan. Fenomena ini benar-benar terjadi di Barat, termasuk di Amerika Serikat. Hal ini tampak dari semakin tingginya angka perceraian dan pada saat yang sama menurunnya minat orang untuk menikah (orang merasa lebih aman untuk hidup bersama tanpa ikatan).

Pada tahun 2003, misalnya, hanya terdapat tiap 1000 penduduk 7,5 pernikahan baru, dan sebaliknya 3,8 perceraian.[4] Selain perceraian, kasus bunuh diri terjadi tiap 16 menit sekali di AS, dan setiap kasus menimbulkan dampak sosial pada minimal enam orang.[5]

Walhasil semakin banyak anak-anak yang tumbuh hanya dengan satu orang tua (single parent), baik karena perceraian maupun kehamilan di luar nikah. Di AS pada tahun 2002 terdapat 21,5 juta anak seperti ini (pada 13,4 juta orangtua tunggal). Tiap 5 dari 6 orang tua tunggal ini adalah wanita.[6] Anak yang dibesarkan dari orangtua tunggal terbukti cenderung lebih mudah terjebak dalam kriminalitas, kehamilan di usia belasan tahun atau kecanduan narkoba.[7] Fenomena ini bukan monopoli AS, namun juga dapat diamati di hampir semua negara Barat yang dikalim berperadaban maju tersebut.

4. Ancaman Militer Terhadap Negara Lain
AS adalah negeri yang sebenarnya memiliki sumberdaya energi melimpah. PLTA-PLTA terbesar di dunia ada di sana. Demikian juga dengan pembangkit tenaga nuklir. Ada 104 PLTN di seluruh AS dengan kapasitas total 99,2 GigaWatt.[8] (Bandingkan dengan kapasitas seluruh pembangkit listrik PLN di Indonesia yang total hanya: 13,7 GigaWatt!). Selain itu para fisikawan juga sedang sibuk melakukan riset nuklir fusi yang diharapkan dapat menghasilkan energi murah dan bersih dari hidrogen berat yang melimpah di air laut.

Jika demikian, kita pantas bertanya, mengapa mereka perlu menyerbu Irak, juga Afganistan? Secara resmi mereka ingin memburu senjata pemusnah massal dan menggulingkan rezim diktator. Namun, kedua alasan ini tampak jelas kebohongannya, karena Badan Atom PBB sudah jelas menyatakan tidak ada pengembangan senjatan nuklir di Irak, bahkan sampai sekarang hal itu tidak terbukti. Senjata nuklir justru malah jelas ada di Israel dan tidak diusik. Sementara itu, rezim diktator juga ada di banyak negara lain. Karena itu, orang menduga kuat bahwa alasan sesungguhnya adalah bisnis minyak dan senjata dari para penyelenggara negara itu.

Jadi, meski AS memiliki kapasitas energi nuklir yang sangat besar, kepentingan yang besar dari segelintir elit atas bisnis minyaknya telah mengalahkan segalanya. Benarlah kata-kata bijak, “Dunia amat cukup untuk memberi makan semua manusia, namun tidak akan pernah cukup untuk memenuhi kerakusan mereka.”

5. Krisis Ekonomi.
Krisis ekonomi yang kini melanda hampir seluruh benua Eropa dan Amerika, juga Asia termasuk Indonesia, sesungguhnya hanyalah repetisi (pengulangan) belaka dari krisis-krisis sebelumnya yang ‘diproduksi’ oleh sistem ekonomi Kapitalisme sebagai salah satu pilar peradaban Barat saat ini. Tahun 1992, Prof. Figgie, penasihat Bill Clinton (saat itu masih calon presiden) mempublikasikan bukunya yang menghebohkan: The Coming Collapse of America and How to Stop It.[9] Dalam buku itu Figgie menggambarkan bahwa defisit AS yang mulai terjadi sejak Perang Vietnam akan menjadi sangat berbahaya akibat bunga berbunga. Jika pada tahun 1992, defisit AS menimbulkan “gunung hutang” sebesar empat triliun dolar, maka tahun 2000 diproyeksikan menjadi 13 triliun dolar.

Defisit yang luar biasa ini suatu saat akan membawa konsekuensi meningkatnya inflasi, kenaikan pajak, kenaikan suku bunga, kredit susah, pertumbuhan ekonomi turun, standar hidup turun, ekonomi dalam negeri di luar kontrol dan akhirnya status adidaya dunia AS akan hilang.

Pada masa Bill Clinton, kepanikan atas situasi ini membuat pernah beberapa lembaga federal seperti museum dan kebun binatang ditutup untuk sementara karena pegawainya tidak bisa digaji. Memang, bencana seperti yang dikhawatirkan Figgie hingga awal 2006 belum terjadi karena “kecerdasan” para ekonomnya yang menjadwal ulang semua hutang-hutang negara itu ke tahun-tahun ketika Clinton sudah tidak lagi menjabat.

Namun, ada spekulasi bahwa George W. Bush melakukan perang global terhadap terorisme karena ingin mengalihkan perhatian rakyat AS atas krisis ekonomi dalam negeri itu, sekaligus menambah cadangan ekonominya sendiri. Kenyataannya, setelah Bush lengser dan digantikan Obama, saat ini krisis ekonomi AS tiba-tiba terkuak, yang diawali oleh macetnya dalam jumlah besar kredit di sektor properti. Krisis AS yang kemudian terus meluas dan berdampak luar biasa ini hingga hari ini diprediksi masih terus berlangsung dan belum ada tanda-tanda ke arah pemulihan. Akibatnya, di negara adidaya AS sendiri, juga di sejumlah besar negara-negara Eropa, angka pengangguran makin meningkat. Entah, kapan krisis ini akan berakhir. Yang pasti, banyak kalangan menilai, inilah babak akhir dari Kapitalisme Barat. Ini berarti, peradaban Barat dengan Kapitalisme sebagai penopang utamanya sesungguhnya sedang di ambang kematiannya.

Kembalinya Peradaban Islam: Pasti!
Di tengah hegemoni peradaban Barat yang tampak mulai jompo ini, bahkan sedang menuju titik balik ke arah kehancurannya, bagaimana dengan masa depan peradaban Islam? Adakah peradaban Islam memiliki peluang untuk kembali tampil ke permukaan? Mampukah peradaban Islam menjadi tantangan baru bagi hegemoni peradaban Barat saat ini?

Jawaban: pasti! Tentu jawaban ini bukan sekadar sebuah apologia. Pasalnya, sumber inspirasi bahkan rahasia hidup peradaban Islam adalah al-Quran yang diturunkan empat belas abad lalu, yang keberadaannya akan terpelihara hingga Hari Kiamat. Artinya, selama al-Quran ada, potensi kebangkitan kembali peradaban Islam juga tetap ada. Sebab, sekali lagi, al-Quranlah sumber inspirasi sekaligus rahasia hidup peradaban Islam, baik pada masa lalu maupun pada masa depan.

Kenyataan ini diakui pula oleh sejumlah cendekiawan Barat berikut ini:
Hendaklah diingat, al-Quran memegang peranan yang lebih besar bagi kaum Muslim daripada Bibel dalam agama Kristen. Ia bukan saja kitab suci dari kepercayaan mereka, tetapi juga merupakan text-book dari upacara agamanya dan prinsip-prinsip hukum kemasyarakatan…Demikianlah, setelah melintasi masa selama 13 abad al-Quran tetap merupakan kitab suci bagi seluruh Turki, Iran, dan hampir seperempat penduduk India. Sungguh, sebuah kitab seperti ini patut dibaca secara meluas di Barat, terutama di masa kini. (E. Denisen Ross, seperti dikutip dalam buku Kekaguman Dunia Terhadap Islam). 

Prof. G. Margoliouth dalam De Karacht van den Islam juga menulis:
Penyelidikan telah menunjukkan, bahwa yang diketahui oleh sarjana-sarjana Eropa tentang falsafah, astronomi, ilmu pasti, dan ilmu pengetahuan semacam itu, selama beberapa abad sebelum Renaissance, secara garis besar datang dari buku-buku Latin yang berasal dari bahasa Arab dan al-Quranlah yang—walaupun tidak secara langsung— memberikan dorongan pertama untuk studi-studi itu di antara orang-orang Arab dan kawan-kawan mereka.

Itu sebabnya, W.E. Hocking berkomentar:
Oleh karena itu, saya merasa benar dalam penegasan saya, bahwa al-Quran mengandung banyak prinsip yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya sendiri. Sesunguhnya dapat dikatakan bahwa hingga pertengahan abad ke tigabelas, Islamlah pembawa segala apa yang tumbuh yang dapat dibanggakan oleh dunia Barat (The Spirit of World Politics, 1932, hlm. 461).

Persoalannya tinggal berpulang pada kaum Muslim saat ini sebagai pewaris hakiki peradaban Islam yang gemilang: Maukah mereka kembali pada al-Quran? Berminatkah mereka kembali menjadikan al-Quran sebagai rujukan hidup? Terpanggilkah mereka untuk menjadikan kembali al-Quran sebagai sumber inspirasi sekaligus rahasia hidup peradaban Islam masa depan?

Pertanyaan di atas tampaknya mulai terjawab dengan munculnya antusiasme kaum Muslim di seluruh dunia untuk kembali pada al-Quran dan Islam. Di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, kerinduan kaum Muslim terhadap akidah, syariah, juga Khilafah—sebagai tiga pilar peradaban Islam—mulia menggeliat sejak beberapa tahun lalu. Karena itu, pada saat peradaban Barat saat ini hampir-hampir tersungkur, masa depan peradaban Islam sesungguhnya amatlah cerah. Sebentar lagi, kebangkitan kembali peradaban Islam bukan lagi sekadar mimpi, tetapi pasti akan mewujud dalam kenyataan. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []


Catatan kaki:

[1] Hammer (1994), Altas der Weltverwicklungen, hlm. 16.
[2] Ibid, hlm. 116.
[3] Ibid, hlm. 134.
[4] http://en.wikipedia. org/wiki/Divorce
[5] http://www.suicidology.org/ displaycommon.cfm?an=1&subarticlenbr=21
[6] http://www.census.gov/prod/2003pubs/p60-225.pdf
[7] http://en.wikipedia.org/wiki/Single_parents.
[8] http://www.iaea.org/cgi-bin/db.page.pl/pris.reaopucct.htm
[9] Figgie, H. E & Swanson, G. J (1992): The Coming Collapse of America and How to Stop It. ISBN 3-550-06831-X

Tidak ada komentar: