Sabtu, 20 Juli 2013

Konstelasi Internasional Terkait ‪‎Ukraina‬

Pertanyaan:

Sudah diketahui bahwa Viktor Fedorovych Yanukovych adalah orangnya Rusia di Ukraina dan sekarang menjadi presiden Ukraina. Hal yang biasa bahwa orientasinya ke arah Rusia. Akan tetapi yang tampak menarik adalah sikap lunaknya terhadap Eropa dan Amerika. Apakah itu berarti ia mulai beralih orientasi ke barat menjauh dari Rusia, ataukah itu sesuai kesepakatan dengan Rusia untuk menjaga pemerintahannya di depan intervensi dan tekanan yang dihadapi oleh Yanukovych?

Jawab:

Untuk memahami jawaban tersebut maka harus dipahami tentang konstelasi internasional terkait Ukraina … Ukraina merupakan pusat pertarungan lama antara Rusia dan Eropa. Kemudian Amerika ikut masuk ke dalam arena pertarungan pada masa belakangan. Pertikaian tersebut, khususnya antara Rusia dan Eropa, meninggalkan jejak yang dalam terhadap rakyat Ukraina dan terhadap pandangan mereka kepada barat dan Rusia. Masyarakat yang hidup di bagian timur negeri loyal kepada Rusia. Sementara masyarakat yang tinggal di bagian barat negeri terpengaruh oleh Eropa dan Amerika. Dan berikutnya, negeri tersebut terbelah secara riil menjadi dua bagian. Terlebih lagi, kelompok politik di Ukraina dahulu bekerja selama bertahun-tahun untuk menyeimbangkan hubungan antara kekuatan Eropa dan Rusia, atau bersikap bias untuk kekuatan yang dominan, baik Rusia atau Eropa.
Begitulah, jadi Ukraina adalah penting untuk negara-negara ini:

1. Adapun Rusia, Ukraina merupakan negeri yang sangat penting bagi Rusia. Jika Rusia kehilangan Ukraina maka barat menjadi berada di tapal batasnya secara langsung. Jadi Ukraina seperti perisai dari arah Eropa. Di samping juga pentingnya Ukraina secara ekonomi menjadi tempat perlintasan pipa gas Rusia ke Barat. Perlu diketahui, Rusia bersikeras untuk mengembalikan hegemoninya di kawasan Uni Soviet termasuk di dalamnya Ukraina. Akan tetapi pada saat meletusnya Revolusi Oranye dan Yushchenko berhasil sampai ke kekuasaan pada pemilu 2005, pengaruh Rusia di Ukraina melemah. Yushchenko adalah agen Amerika. Pada masa pemerintahannya Amerika sibuk untuk mempercepat penyempurnaan integrasi antara Ukraina dan barat. Selama masa dia menjabat, Yushchenko mengancam mengusir armada laut hitam Rusia dari Sevastopol pada akhir masa sewa militer Rusia di sana tahun 2017. Yushchenko tidak menyembunyikan keinginannya menggabungkan Ukraina secara sempurna dalam lembaga Barat seperti Uni Eropa dan NATO. Kiev masuk dalam beberapa perundingan atas kesepakatan kemitraan dengan Uni Eropa dan meminta rencana kerja untuk keanggotaan NATO … Begitulah, pengaruh Rusia pun berada dalam krisis. Akan tetapi Rusia pada Februari 2010 berhasil mengembalikan orangnya di Ukraina Viktor Fedorovych Yanukovych ke kekuasaan. Dia adalah presiden keempat Ukraina dan pendukung kuat Rusia. Sejak saat itu pengaruh Amerika kembali mengalami kemunduran dan Ukraina mengarah ke normalisasi hubungan dengan Rusia.

Yanukovych bertemu dengan presiden Rusia Medvedev di Kharkov kurang dari dua bulan ia menjabat pada tanggal 21 April 2010. Dalam pertemuan itu ia setuju memperpanjang sewa armada laut hitam untuk 25 tahun tambahan, yang akan berhenti pada tahun 2042. Sebaliknya, perusahaan gas Rusia Gazprom setuju menurunkan harga gas alam menjadi 100 dolar per 1000 meter kubik untuk jangka waktu yang masih tersisa dari transaksi gas yang ditandatangani tahun 2009. Mantan Perdana Menteri Ukraina Yulia Timochenko menolak perjanjian itu. Ia mengatakan bahwa hal itu bertentangan dengan konstitusi. Disebabkan penentangannya yang keras ia dijebloskan ke penjara.

Meskipun Ukraina pada masa Yanukovych menampakkan keinginannya dalam menjaga hubungan kerjasama dengan NATO, akan tetapi Ukraina pemerintahan Yanukovych tidak meminta keanggotaan NATO atau rencana kerja untuk mendapatkan keanggotaan. Dengan kebijakan ini, jadual kerja bilateral antara Kiev dan Moskow jadi menguntungkan Rusia.

Pada pihak dalam negeri, kebijakan Yanukovych yang represif menjadi meningkat. Pada tanggal 30 September 2010, Mahkamah Konstitusi Ukraina menghapus amandemen yang dimasukkan terhadap konstitusi oleh Parlemen Ukraina pada Desember 2004. Ini terjadi setelah hakim dari kalangan oposisi dicopot dan ditunjuk empat hakim baru yang mendukung. Ini mengizinkan Yanukovych kembali ke hari-hari sebelum Revolusi Oranye, dan memberikan kekuatan implementatif kepada presiden dan melemahkan kekuasaan parlemen.

2. Sedangkan Eropa, maka Eropa memahami bahwa Rusia memanfaatkan file gas dan suplay gas ke barat melalui Ukraina. Rusia memanfaatkannya untuk menekan dan memikat agar Ukraina tetap berada di bawah pengaruh Rusia, atau minimal tidak loyal kepada barat demi kepentingannya. Karena itu, Eropa berusaha memikat Ukraina dengan dana dan solusi alternatif atas ketergantungan totalnya terhadap gas Rusia. Eropa pun menawarkan kepada Ukraina dana untuk mengup-grade infrastruktur dan teknologi gas, dan berpartisipasi dalam eksploitasi gas serpih bebatuan (Shale Gas). Dan ada pembicaraan di sana untuk menjadikan gas sebagai poros energi. Berdasarkan latar belakang ini Ukraina dan Uni Eropa menandatangani protokol penggabungan ke perjanjian energi pada September 2010 yang masuk dalam tahapan implementasi pada Februari 2011. Pada tahun lalu Ukraina juga menandatangani transaksi 10 miliar dolar dengan perusahaan Shell untuk mengeksploitasi cadangan gas alam serpih bebatuan (shale natural gas) di Ukraina agar menjadi kemitraan terbesar di Eropa. Diyakini bahwa itu akan menjadi transaksi terbesar untuk mengeksploitasi gas alam di bawah tanah dari serpih minyak untuk lima puluh tahun ke depan di Eropa.

Ukraina sekarang sedang berunding dengan Uni Eropa berkaitan dengan integrasi dengan Eropa. Akan tetapi Partai Daerah (partainya Yanukovych) menghambat upaya itu. Ketua Delegasi Uni Eropa untuk Ukraina Jan Tombinski mendorong anggota partai daerah untuk menghentikan hambatan kerja komite parlemen untuk berintegrasi ke Eropa. Perkembangan semisal ini mengganggu Rusia. Dan untuk menghadapi insentif ekonomi Uni Eropa sebagai bagian dari pembicaraan integrasi, Rusia pun menawarkan kepada Ukraina untuk menjadi anggota dalam persatuan kepabeanan. Akibat tekanan Rusia dan loyalitas Yanukovych kepada Rusia, Parlemen Ukraina pada tanggal 30 Juli 2012 meratifikasi perjanjian kawasan perdagangan bebas (Rusia). Ukraina menjadi negara ketiga setelah Rusia dan Belarusia di antara negara-negara yang meratifikasi perjanjian yang telah dibentuk pada 18 Oktober 2011. Awalnya perjanjian itu ditandatangani oleh delapan negara CIS (Commenwealt of Independent States) dipimpin oleh Rusia dan diikuti oleh Belarusia, Ukraina, Armenia, Kazakhstan, Kyrgizia, Moldovia dan Tajikistan. Perjanjian itu telah diratifikasi oleh Rusia, Belarusia kemudian Ukraina dan diikuti oleh negara-negara lainnya.

Meski demikian, seperti halnya Yanukovych mengalami berbagai tekanan dari Rusia, dia juga mengalami berbagai tekanan dari Uni Eropa yang menolak penggabungan Ukraina ke persatuan kepabeanan dengan Rusia dan peningkatan integrasi dengan Rusia. Karena itu, Uni Eropa melakukan dan memberitahu Ukraina dalam KTT Uni Eropa-Ukraina pada tanggal 25 Maret 2013 di Brussels bahwa tidak mungkin menghimpun antara keanggotaan Uni Eropa dan keanggotaan Persatuan Kepabeanan. Uni Eropa telah mempermudah Ukraina bergabung ke WTO. Peter Mandelson, juru runding perdagangan Uni Eropa pada tanggal 14/1/2013 mengatakan: “Uni Eropa menyiapkan dukungan kuat untuk keanggotaan Ukraina di WTO dan ini merupakan langkah pertama ke arah integrasi terbesar untuk Ukraina dengan perekonomian global dan Eropa.”

Begitulah, tampak jelas bahwa Yanukovych pada waktu ia loyal kepada Rusia, pada saat yang sama dia juga mendekat ke Uni Eropa. Artinya, ia bermain pada keseimbangan antara kepentingan Rusia dan Eropa di Ukraina.

3. Sedangkan Amerika, kehancuran Uni Soviet pada tahun 1991 telah membuka kesempatan baru untuk kekuatan Eropa lama. Demikian juga kesempatan baru untuk Amerika sebagai kekuatan adidaya di dunia. Yaitu kesempatan untuk melakukan pengaruh lebih besar di lapangan politik di Ukraina. Karena kesibukan Eropa dalam mengembalikan persatuan Jerman, penyatuan mata uang Eropa dan dengan berbagai perbedaan di antara negara-negara Eropa, hal itu membuka kesempatan bagi Amerika untuk memanfaatkan situasi sebaik mungkin. Rusia sendiri tidak mampu dengan bentuk apapun untuk menghentikan Amerika. Rusia benar-benar hancur seiring dengan kehancuran Uni Soviet dan beralih ke kapitalisme. Dan Amerika memanfaatkan kelemahan Rusia itu. Maka Presiden Amerika terdahulu George W Bush, pada 24 Oktober 1992, menandatangani undang-undang kebebasan untuk Rusia dan demokrasi Eurasia yang sedang tumbuh, mendukung pasar terbuka yang kemudian dikenal dengan undang-undang mendukung kebebasan (FSA). Hal itu agar bisa mengikuti jalan Amerika dalam memberikan bantuan ke negeri-negeri Eurasia pasca kehancuran Uni Soviet. Pemerintah Amerika mempercayakan kepada kantor koordinasi bantuan Amerika untuk Eropa dan negeri Eurasia di kementerian luar negeri (EUR/ACE) tugas koordinasi dan manajemen program bantuan luar negeri yang termaktub oleh undang-undang mendukung kebebasan (FSA).

Dalam kerangka UU untuk mendukung kebebasan, pemerintahan Amerika yang silih berganti berusaha meningkatkan pengaruhnya di Ukraina. Sebagai contoh, dahulu Amerika paska kemerdekaan Ukraina dari Uni Soviet tahun 1991, Amerika mampu memanfaatkan presiden pertama Ukraina Leonid Kravchuk dalam membangun aktivitas tripartit tahun 1994 untuk menghancurkan persenjataan nuklir di wilayah Ukraina. Amerika juga mampu membangun kerja sama strategis dengan Ukraina melalui presiden kedua Ukraina, Leonid Kuchma, pada tahun 1994. Sebagaimana Kuchma menandatangani kesepakatan kemitraan dan kerja sama dengan Uni Eropa, dia juga menyetujui kemitraan spesifik dengan NATO. Amerika bahkan mampu mempengaruhi perjanjian bilateral antara Rusia dan Ukraina pada Mei 1997 dalam masalah hak-hak armada laut hitam Rusia di semenanjung Krimea. Amerika memperoleh kesuksesan besar di Ukraina, ketika berhasil menobatkan Victor Yushchenko ke tampuk kekuasaan pada pemilu tahun 2005 pasca Revolusi Oranye. Yushchenko adalah agen Amerika. Amerika memanfaatkan masa pemerintahan Yushchenko untuk mempercepat pengintegrasian antara Ukraina dengan barat. Selama masa jabatannya, Yushchenko mengancam akan mengusir armada laut hitam Rusia dari Sevastopol setelah masa sewa militer Rusia berakhir tahun 2017. Yushchenko tidak menyembunyikan keinginannya menggabungkan Ukraina secara total dalam lembaga-lembaga semisal Uni Eropa dan NATO. Kiev telah memasuki berbagai perundingan atas kesepakatan kemitraan dengan Uni Eropa. Ia meminta rencana kerja untuk keanggotaan Ukraina di NATO. Akan tetapi usaha ini gagal ketika orangnya Rusia berhasil sampai ke tampuk kekuasaan yaitu Yanukovych.

Meski demikian, Amerika terus menekan Ukraina agar tidak bergabung ke persatuan kepabeanan Rusia dan sebaliknya mendorong untuk bergabung ke Uni Eropa. Sebab hal itu akan memasukkan Ukraina dalam daerah barat dan membuka jalan masa depan untuk memasukkan Ukraina di NATO. Dan berikutnya membuka jalan bagi hegemoni Amerika terhadap Ukraina dan membatasi pengaruh Rusia di sana, bahkan mengadakan ring terhadap Rusia dari sisi Eropa timur.

Amerika fokus dalam menarik Ukraina pada aspek militer dengan menyertakan Ukraina dalam manuver militer dan tujuan finalnya adalah memasukan Ukraina ke dalam NATO. Telah dilakukan manuver militer NATO di laut Hitam pada 14 Juli 2010 dan berlangsung hingga 26 Juli 2010 dan Ukraina diikutsertakan di dalam manuver itu. Hal itu dilakukan hanya beberapa bulan setelah pemilihan Yanukovych dan ketika hubungannya dengan Rusia sedang berada di puncaknya. Meski, Rusia memprotes manuver militer itu melalui pernyataan menteri luar negeri dalam pernyataannya: “Tabiat manuver itu dan upaya memaparkannya sebagai anti Rusia dan partisipasi negara-negara yang bukan dari kawasan tersebut memicu berbagai pertanyaan dan beberapa kekhawatiran. Demikian juga kebijakan Ukraina yang ditujukan untuk mempercepat penggabungannya ke NATO tidak berkontribusi dalam menguatkan hubungan bertetangga yang baik” (situs radio Iran, 19/7/2010). Demikian juga dilakukan manuver laut bersama Amerika Ukraina pada 13 Juni 2011 untuk angkatan laut Ukraina di laut Hitam. Begitu pula “Rusia mengungkapkan ketidaksenangannya dalam pernyataan yang dikeluarkan oleh kementrian luar negeri Rusia dan menganggap langkah ini sebagai ancaman langsung untuk keamanan nasional Rusia” (Al-arabiya, 12/6/2011).

4. Dari semua itu kita bisa pahami bahwa Yanukovych tidak memutuskan hubungan dengan Rusia dan loyalitasnya kepada Rusia. Akan tetapi dia tidak bisa memenuhi semua permintaan Rusia disebabkan tekanan dalam negeri dan luar negeri dan karena ambisinya untuk berhasil dalam pemilu tahun 2015. Rusia memahami hal itu. Maka yang lebih baik bagi Rusia adalah tetap mempertahankan Yanukovych dari pada akhirnya yang datang ke kekuasaan Ukraina adalah orang yang loyal kepada barat dan akan bekerja menjauh dari Rusia mengarah kepada barat yang akan membahayakan kepentingan Rusia. Akan tetapi Yanukovych tidak akan jauh dalam hubungannya dengan barat di mana dia tidak akan menghentikan loyalitasnya kepada Rusia, khususnya bahwa pangkalan populer Yanukovych adalah orang-orang yang mendukungnya untuk berorientasi ke arah Rusia, sehingga ia tidak bisa mengabaikan hal itu. Akan tetapi Yanukovych akan tetap bekerja untuk menyenangkan barat dan membuka diri terhadap barat serta merealisasi kepentingannya bersama barat. Dan Rusia bisa memahami hal itu dan tidak akan banyak menguatkan cengkeramannya terhadap Yanukovych, akan tetapi juga tidak melonggarkan tali untuk Yanukovych hingga dia tidak akan terlepas dari tangan Rusia. [KRSK]

13 Rajab 1434
23 Mei 2013

BULAN PERUBAHAN - Ramadhan Hari-10: UBAH DIFFERENSIASI

Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu "differensiasi"-nya atau membuat perbedaan dalam dirinya dengan masa lalu atau dengan orang lain.

Allah menciptakan manusia dengan berbagai perbedaan. Perbedaan fisik, tempat lahir, latar belakang sosial, pendidikan dan sebagainya, itu qadha (kehendak Allah, di luar kekuasaan manusia). Jadi ini perbedaan yang tidak akan diminta pertanggungjawaban, jadi juga tidak perlu dipersoalkan. Perbedaan ini justru memudahkan manusia saling mengenal. Coba bayangkan kalau semuanya seragam? Kalau semua perempuan sama wajah dan pakaiannya, tentunya banyak suami yang kesulitan menemukan kembali yang mana istrinya.

Namun ada perbedaan yang justru harus kita ciptakan, kalau kita ingin berubah. Ada dua perbedaan atau diferensiasi yang bisa kita lakukan:

Pertama, perbedaan dengan dirinya sendiri di masa lalu. Tentunya perbedaan yang sifatnya mubah. Syukur-syukur malah yang sunnah atau wajib. Kalau dulu dia jarang berolahraga, sekarang bikin perbedaan dengan rajin olahraga tiap pagi, meskipun cuma senam atau jogging keliling RT 10 menit. Kalau dulu tak pernah pakai baju putih dan peci haji, apa salahnya sekarang pakai baju putih dan peci haji. Bagi yang belum berhaji, barangkali itu washilah untuk dimudahkan Allah jalan ke tanah suci. Atau juga washilah untuk jadi berhati-hati dalam berbuat. Ada sobat yang tinggal di Eropa, biasa beli daging di sebuah kios yang dijaga orang Turki. Ketika suatu hari dia datang dengan kostum putih dan peci haji, tiba-tiba penjaga warungnya bilang, "Pak Haji, ini daging yang dijual di kios ini tidak halal. Yang nyembelih orang kafir. Saya mah cuma jaga warung saja ...".

Untuk amal yang sifatnya wajib, yang selama ini belum kita kerjakan, atau belum kita kerjakan dengan serius, apa salahnya sekarang kita buat perbedaan. Mungkin selama ini kita masih takut-takut minta break untuk sholat sewaktu rapat di kantor sedang panas-panasnya. Atau mungkin selama ini kita terlibat dakwah hanya untuk selingan waktu luang saja. Cobalah sekarang kita buat perbedaan. Kita menjadi orang pertama yang mengingatkan pemimpin rapat agar break 15 menit untuk sholat. Atau kita menjadi orang yang berada di depan dalam soal dakwah, dan dakwah menjadi poros hidup kita.

Kedua, perbedaan dengan orang lain. Allah memerintahkan kita berlomba dalam kebaikan. Boleh saja kita menjadikan orang lain acuan untuk memacu prestasi. Orang lain rajin sholat berjama'ah, kita juga berusaha minimal serajin dia. Tetapi mari kita membuat perbedaan. Coba kita yang adzan! Kalau ada seratus orang yang sholat berjama'ah, pasti yang adzan cuma satu! Ini membuat perbedaan. Kalau di kelas orang berlomba hanya untuk nilai akademis, sedangkan kita tahu banyak teman kita yang jauh lebih cerdas dari kita, cobalah kita membuat perbedaan dengan prestasi yang unik, yang tidak banyak orang mengejarnya, misalnya: kecil-kecil tulisannya biasa dimuat di media, atau kecil-kecil sudah jadi pengusaha, atau kecil-kecil sudah hafal Quran surat Al-Baqarah & Ali Imran. Rasulullah pun dalam memilih komandan pasukan sering mencari yang beda dari para sahabatnya.

Di dunia bisnis, diferensiasi bisa sangat menentukan. Kalau qualitas produk, harga dan delivery time sama, maka yang menentukan tinggal kemasan. Context will be more important than content ! Kemasan ini bisa berupa bungkus, bisa berupa cara penyajian, bisa pula berupa acara atau cerita yang mengiringi.

Ini pula rahasia, kenapa sekarang banyak orang tertarik mengikuti berbagai seminar atau training yang berharga sangat mahal, padahal isinya yang paling "gitu-gitu saja". Ternyata letaknya pada kemasan atau context yang berbeda. Jadi kalau selama ini kita merasa kurang berhasil dalam suatu aktivitas, cobalah, rubah nasib dengan membuat kemasan yang berbeda. Yang penting ada sentuhan berbeda, walaupun tetap syar'i.

Mestinya Ramadhan adalah bulan untuk membuat kita tampil beda. Mudah-mudahan, pada hari ke-10 bulan Ramadhan, kita sudah bisa merubah diferensiasi kita dalam menjalani kehidupan, agar Allah merubah nasib kita. [Fahmi Amhar]

BULAN PERUBAHAN - Ramadhan Hari-11: UBAH ORIENTASI

Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu "orientasi"-nya atau arah perjalanan hidupnya.

Kehidupan itu laksana perjalanan. Kalau kita berangkat mudik dari Jakarta ke Yogya, maka dari awal kita sudah seharusnya tahu, ke mana arah yang dituju. Kalau salah, jangan-jangan kita malah ke Barat, menuju Merak, lalu menyeberang ke Sumatra, wah makin jauh lah Yogya ... Atau lebih parah lagi kita malah ke Cengkareng, naik pesawat, ternyata itu pesawat jurusan Jeddah. Wow, jadinya bukan mudik tapi umroh dong ... :-)

Biasanya dari Jakarta, pemudik ke Yogya akan menuju ke timur. Masuk tol Cikampek. Nah di pintu tol Cikampek, dia harus memutuskan, lewat Pantura atau lewat Bandung (jalur selatan). Yang lewat Pantura, ada kemungkinan akan menghadapi pilihan arah lagi. Mungkin di Subang ada yang dibuang ke jalur tengah, karena macet berat. Mungkin di Cirebon ada yang memilih ke kanan lewat Purwokerto. Mungkin di Kendal ada yang memilih lewat Weleri, Temanggung dan Magelang. Yang paling konvensional, akan melewati jalur yang lebar dan mulus, lewat Semarang lalu Magelang. Intinya, di tiap simpang jalan itu mereka harus memutuskan ke arah mana. Di situlah, setiap saat kita harus berorientasi. Kita ada di mana, dan tujuan itu ke arah mana.

Demikian juga dalam kehidupan. Setiap kita lulus satu jenjang pendidikan dan akan melanjutkan jenjang di atasnya, atau kita selesai studi dan mau bekerja atau membuka usaha, atau kita mau mendiami sebuah rumah dan membentuk rumah tangga, semua perlu orientasi. Orientasi itu yang akan memandu kita, apakah benar kita menuju tujuan kita sekolah, bekerja atau berumah tangga. Orientasi itu akan memberi informasi yang lengkap, sudahkah bekal kita memadai, apa saja yang harus disiapkan, dan berapa lama kita harus menyiapkannya.

Orang Jakarta yang niat mudik ke Yogya lewat jalur darat, dia harus menyiapkan kendaraan yang masuk akal akan membawanya dengan selamat dan sehat ke Yogya, dalam waktu yang dirasakannya cukup. Apa jadinya mudik ke Yogya dengan naik becak. Mungkin sampai juga, tetapi ketika sampai, lebaran sudah lewat sebulan !

Demikian juga orang yang bermimpi memasuki sebuah universitas favorit. Dia sebaiknya berorientasi kemampuannya saat itu, sehingga dapat mengukur apa yang harus disiapkannya. Mungkin kalau dia menyadari IQ-nya pas-pasan, dia harus mempersiapkan semuanya sejak hari pertama masuk SD. Mungkin saja dia harus belajar lebih keras dari teman-temannya.

Orang yang bercita-cita memiliki rumah tangga yang ideal, memiliki pasangan shalih/shalihah, sebaiknya juga mengukur diri sehingga dapat menyiapkan diri dari awal. Tentu cukup sulit dapat pasangan seperti itu, kalau jarang mampir ke masjid atau tidak bergaul dengan orang-orang yang gemar mengkaji al-Qur'an.

Apalagi kalau orang bercita-cita akan merubah nasib sebuah bangsa, membangun sebuah peradaban baru yang adil, makmur dan bermartabat, menjadi rahmat ke seluruh dunia. Maka dia harus menyadari apa saja yang harus dia siapkan. Itu gunanya berorientasi. Kalau dia sadar bahwa cita-citanya itu membutuhkan orang-orang yang rela melupakan makan siangnya demi belajar bahasa Cina, maka ia akan melakukannya. Itu pula yang dilakukan oleh para sahabat Nabi. Menguasai bahasa Cina, agar dapat ke Cina, mencuri teknologi kertas, kompas dan mesiu, yang diperlukan untuk bekal menjadi umat terbaik di dunia. Sekarang ini kita memerlukan ribuan jenis keahlian. Kita perlu orang-orang yang menguasai ilmu syariah untuk persoalan ekonomi dan bisnis modern. Kita juga perlu ilmu syariah untuk maju di percaturan politik dunia. Kita juga perlu orang-orang yang menekuni fisika nuklir agar dunia Islam dapat menggetarkan musuh-musuhnya yang memiliki senjata pemusnah massal.

Mestinya Ramadhan adalah bulan untuk membuat kita merubah arah perjalanan agar semakin dekat dengan tujuan. Mudah-mudahan, pada malam ke-11 bulan Ramadhan, kita sudah bisa merubah orientasi kita dalam perjalanan kehidupan, agar Allah merubah nasib kita. [Fahmi Amhar]

Kamis, 18 Juli 2013

Makna Hadits Tentang Mujadid Setiap Akhir Seratus Tahun

Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Semoga Allah memberkahi Anda dan mempercepat nushrah melalui tangan Anda … dan semoga Allah memberi manfaat kepada kami dengan ilmu Anda.

Di antara hadits-hadits shahih yang masyhur adalah apa yang diriwayatkan oleh Shahabat yang mulia Abu Hurairah ra., dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:

«إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا»

Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini, pada setiap akhir seratus tahun, orang yang memperbaharui untuk umat agama mereka (HR Abu Dawud no. 4291, Dishahihkan oleh as-Sakhawi di al-Maqâshid al-Hasanah (149) dan al-Albani di as-Silsilah ash-Shahîhah no. 599)

Pertanyaannya adalah: apa makna hadits tersebut? Apakah kata “man“ di dalam hadits tersebut memberi makna bahwa mujadid itu individu ataukah jamaah? Dan apakah mungkin membatasi mereka pada abad ke tujuh? Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda.


Jawab:
Wa ‘alaikum as-salam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Benar, hadits tersebut shahih. Di dalamnya ada lima masalah:
Dari tahun mana dimulai abad itu? Apakah dari kelahiran Rasul saw, atau dari tahun beliau diutus, atau dari hijrah, atau dari wafat beliau saw?
Apakah “ra’s kulli mi`ah“ berarti awal setiap seratus (setiap satu abad), atau sepanjang tiap satu abad, atau pada akhir tiap satu abad?
Apakah kata “man“ berarti satu orang, atau berarti jamaah yang memperbaharui untuk manusia agama mereka?
Apakah ada riwayat yang memiliki sudut pandang shahih tentang hitungan orang-orang mujadid selama abad-abad lalu?
Apakah mungkin kita mengetahui pada abad ke empat belas yang berakhir pada 30 Dzul Hijjah 1399, siapakah mujadid untuk masyarakat yang memperbaharui agama mereka?


Saya akan berusaha semampu saya untuk menyebutkan yang rajih menurut saya dalam masalah-masalah tersebut tanpa terjun pada point-point perbedaan. Dan saya katakan dengan taufik dari Allah dan Dia Zat yang memberi petunjuk kepada jalan yang lurus:

1. Dari tahun berapa dimulai seratus tahun itu?

Al-Munawi di Muqaddimah Fath al-Qadir mengatakan: “diperselisihkan tentang ra’s al-mi`ah apakah dinilai dari kelahiran Nabi SAW, tahun beliau diutus, hijrah atau tahun beliau wafat …” Yang rajih menurutku bahwa penilaian tersebut adalah dari hijrah. Hijrah itu adalah peristiwa yang dengannya Islam dan kaum Muslimin menjadi mulia dengan tegaknya daulahnya. Karena itu ketika Umar mengumpulkan para sahabat untuk bersepakat atas awal kalender, mereka bersandar pada hijrah. Imam ath-Thabari mengeluarkan di Târîkh-nya, ia berkata:

“حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْحَكَمِ، قَالَ: حَدَّثَنَا نُعَيْمُ بْنُ حَمَّادٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا الدَّرَاوَرْدِيُّ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ، قَالَ: سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ، يَقُولُ: جَمَعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ النَّاسَ، فَسَأَلَهُمْ، فَقَالَ: من أي يوم نكتب؟ فقال علي: من يوم هاجر رسول الله صلى الله عليه وسلم، وَتَرَكَ أَرْضَ الشِّرْكِ، فَفَعَلَهُ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.

Telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Hakam, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Nu’aim bin Hamad, ia berkata: telah menceritakan kepada kami ad-Darawardi dari Utsman bin Ubaidullah bin Abi Rafi’, ia berkata: aku mendegar Sa’id bin al-Musayyib berkata: Umar bin al-Khaththab mengumpulkan orang-orang dan menanyai mereka. Umar berkata: dari hari apa kita tulis?” maka Ali berkata: “dari hari Rasulullah saw hijrah dan beliau meninggalkan bumi kesyirikan”. Maka Umar ra. melakukannya.

Abu Ja’far (ath-Thabari) berkata: mereka –para sahabat- menilai tahun hijriyah pertama dari Muharram tahun itu, yakni dua bulan beberapa hari sebelum Rasulullah saw datang ke Madinah karena Rasulullah saw datang di Madinah pada tanggal 12 Rabiul Awal.”

Atas dasar itu, saya merajihkan untuk menghitung tahun-tahun ratusan (abad) berawal dari tahun hijrah yang dijadikan sandaran para sahabat ridhwanullah ‘alayhim.

2. Sedangkan ra’s al-mi`ah yang rajih adalah akhirnya. Yakni bahwa mujadid itu ada pada akhir abad; yaitu seorang yang ‘alim, terkenal, bertakwa dan bersih. Dan wafatnya pada akhir ratusan itu dan bukan pada pertengahan atau sepanjang abad itu. Adapun kenapa saya merajihkan hal itu, dikarenakan sebab-sebab berikut:

a. Ditetapkan dengan riwayat-riwayat shahih bahwa mereka menilai Umar bin Abdul ‘Aziz pada pengujung seratus tahun pertama. Beliau wafat pada tahun 101 H, dan usianya 40 tahun. Dan mereka menilai asy-Syafii pada penghujung seratus tahun kedua dan beliau wafat pada tahun 204 H dan usia beliau 54 tahun. Dan jika diambil penafsiran “ra’s kulli mi`ah sanah” itu selain ini, yakni ditafsirkan awal abad, maka Umar bin Abdul Aziz bukan mujadid abad pertama sebab beliau dilahirkan tahun 61 H. Begitu pula asy-Syafii bukan mujadid abad kedua sebab beliau dilahirkan tahun 150 H. Ini maknara’s kulli mi`ah sanah” yang dinyatakan di dalam hadits tersebut, berarti akhir abad dan bukan awalnya. Maka mujadid itu dilahirkan sepanjang abad itu kemudian menjadi seorang yang ‘alim terkenal dan mujadid pada akhir abad itu dan diwafatkan pada akhir abad itu.

b. Sedangkan dalil bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah mujadid seratus tahun pertama dan asy-Syafii adalah mujadid seratus tahun kedua adalah apa yang sudah terkenal di tengah para ulama dan para imam umat ini. Az-Zuhri, Ahmad bin Hanbal dan selain keduanya diantara para imam terdahulu dan yang belakangan, mereka telah sepakat bahwa mujadid abad pertama adalah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah dan pada akhir abad kedua adalah imam asy-Syafii rahimahullah. Umar bin Abdul Aziz diwafatkan pada tahun 101 dan usianya 40 tahun dan masa khilafah beliau selama dua setengah tahun. Dan asy-Syafii diwafatkan pada tahun 204 dan usia beliau 54 tahun. Al-Hafizh Ibn Hajar di at-Tawâliy at-Ta`sîs mengatakan, Abu Bakar al-Bazar berkata, aku mendengar Abdul Malik bin Abdul Humaid al-Maymuni berkata: aku bersama Ahamd bin Hanbal lalu berlangsung mengingat asy-Syafii lalu aku lihat Ahmad mengangkatnya dan berkata: diriwayatkan dari an-Nabi beliau bersabda:

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُقَيِّضُ فِي رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ

Sesungguhnya Allah membatasi pada penghujung setiap seratus tahun orang yang mengajarkan masyarakat agama mereka

Ahmad berkata, Umar bin Abdul Aziz pada penghujung abad pertama dan saya berharap asy-Syafii pada abad yang lain (kedua).

Dan dari jalur Abu Sa’id al-Firyabi, ia berkata: Ahmad bin Hanbal berkata:

إِنَّ اللَّهَ يُقَيِّضُ لِلنَّاسِ فِي كُلِّ رَأْسِ مِائَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ الناس السنن وينفي عن النبي الْكَذِبَ فَنَظَرْنَا فَإِذَا فِي رَأْسِ الْمِائَةِ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَفِي رَأْسِ الْمِائَتَيْنِ الشَّافِعِيُّ

Sesungguhnya Allah membatasi untuk masyarakat pada setiap penghujung seratus tahun orang yang mengajarkan masyarakat sunan dan menafikan kedustaan dari Nabi. Dan kami melihat pada penghujung seratus tahun pertama adalah Umar bin Abdul Aziz dan pada penghujung seratus tahun kedua adalah asy-Syafii



Ibn ‘Adi berkata: Aku mendengar Muhammad bin Ali bin al-Husain berkata: Aku mendengar ashhabuna mereka mengatakan, pada seratus tahun pertama adalah Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun kedua Muhammad bin Idris asy-Syafii.

Al-Hakim telah mengeluarkan di Mustadrak-nya dari Abu al-Walid, ia berkata: Aku ada di majelis Abu al-‘Abbas bin Syuraih ketika seorang syaikh (orang tua) berdiri kepadanya memujinya lalu aku mendengar ia berkata: telah menceritakan kepada kami Abu ath-Thahir al-Khawlani, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahbin, telah memberitahukan kepada kami Sa’id bin Abi Ayyub dari Syarahil bin Yazid dari Abu ‘Alqamah, dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:

«إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا»

Sesungguhnya Allah mengutus pada penghujung setiap seratus tahun orang yang memperbaharui agamanya

Maka bergembiralah wahai al-Qadhi, sesungguhnya Allah mengutus pada penghujung seratus tahun pertama Umar bin Abdul Aziz, dan Allah mengutus pada penghujung seratus tahun kedua Muhammad bin Idris asy-Syafii …

Al-Hafizh Ibn hajar mengatakan, ini mengindikasikan bahwa hadits itu masyhur pada masa itu.

c. Mungkin dikatakan bahwa ra’s asy-syay`i secara bahasa artinya awalnya. Lalu bagaimana kita merajihkan bahwa ra’s kulli mi`ah sanah adalah akhirnya dan bukan awalnya? Jawabnya adalah bahwa ra’s asy-syay`i seperti di dalam bahasa adalah awal sesuatu itu dan demikin juga akhirnya. Ia berkata di Tâj al-‘Arûs: ra’s asy-syay`i adalah ujungnya dan dikatakan akhirnya. Ibn Manzhur berkata di Lisân al-‘Arab: kharaja adh-dhabb murâ`isan: biawak itu keluar dari lubangnya dengan kepala lebih dahulu dan ada kalanya dengan ekornya lebih dahulu. Yakni keluar dengan awal atau akhirnya. Atas dasar itura’s asy-syay`i seperti yang dinyatakan di dalam bahasa, bermakna awalnya, dan bermakna ujungnya baik awalnya atau akhirnya. Dan kita perlu qarinah yang merajihkan makna yang dimaksud di dalam hadits untuk kata ra’s al-mi`ah apakah awalnya ataukah akhirnya. Dan qarinah-qarinah ini ada di dalam riwayat-riwayat terdahulu yang menilai Umar bin Abdul Aziz adalah mujadid seratus tahun pertama dan beliau diwafatkan pada tahun 101 dan penilaian bahwa asy-Syaifi adalah mujadid seratus tahun kedua dan beliau diwafatkan pada tahun 204. Semua itu merajihkan bahwa makna di dalam hadits tersebut adalah akhir seratus dan bukan awalnya.

Berdasarkan atas semua yang terdahulu itu maka saya merajihkan bahwa makna ra’s kulli mi`ah sanah yang dinyatakan di dalam hadits tersebut adalah akhir setiap seratus tahun.



3. Adapun apakah kata “man” berarti satu orang atau jamaah, maka hadits tersebut diriwayatkan “diutus untuk umat ini …orang yang memperbaharui agama umat”. Seandainya kata “man” menunjukkan pada jamak niscaya fi’ilnya jamak yakni “man yujaddidûna, akan tetapi fi’il disitu dinyatakan mufrad “yujaddidu”. Meski bahwa dalalah “man” disitu ada makna jamak juga hingga meskipun setelahnya fi’il mufrad. Namun saya merajihkan bahwa “man” itu disini untuk mufrad dengan qarinah fi’ilnya yaitu yujaddidu. Dan saya katakan, saya rajihkan, sebab dalalah disini dengan mufrad bukanlah qath’iy hingga meski fi’il setelahnya adalah mufrad. Karena itu, ada orang yang menafsirkan “man” dengan dalalah jamaah dan mereka menghitung riwayat mereka adalah jamaah ulama pada setiap seratus tahun. Akan tetapi, itu adalah pendapat yang lebih lemah seperti yang telah kami sebutkan barusan.

Atas dasar itu, maka yang rajih menurut saya bahwa kata “man” menunjukkan satu orang, yakni bahwa mujadid pada hadits tersebut adalah satu orang ‘alim lagi bertakwa dan bersih …

4. Adapun hitungan nama-nama para mujadid pada abad-abad lalu, maka ada riwayat-riwayat dalam hal itu dan yang paling terkenal adalah syair as-Suyuthi di mana ia menghitung untuk sembilan abad dan ia memohon kepada Allah agar menjadi mujadid yang kesembilan. Saya nukilkan sebagian syair itu:

“فَكَانَ عِنْدَ الْمِائَةِ الْأُولَى عُمَرْ خَلِيفَةُ الْعَدْلِ بِإِجْمَاعٍ وَقَرْ…

وَالشَّافِعِيُّ كَانَ عِنْدَ الثَّانِيَةِ لِمَا لَهُ مِنَ الْعُلُومِ السَّامِيَةِ…

وَالْخَامِسُ الْحَبْرُ هُوَ الْغَزَالِي وَعَدّهُ مَا فِيهِ مِنْ جِدَالِ…

وَالسَّابِعُ الرَّاقِي إلى المراقي بن دَقِيقِ الْعِيدِ بِاتِّفَاقِ…

وَهَذِهِ تَاسِعَةُ الْمِئِينَ قَدْ أَتَتْ وَلَا يُخْلَفُ مَا الْهَادِي وَعَدْ وَقَدْ رَجَوْتُ أَنَّنِي الْمُجَدِّدُ فِيهَا فَفَضْلُ اللَّهِ لَيْسَ يُجْحَدُ…

Pada abad pertama Umar bin Abdul Azis yang adil, menurut ijmak yang kokoh …

Dan asy-Syafii pada abad kedua karena ia memiliki ilmu yang tinggi …

Dan kelima adalah al-Habru, dia adalah al-Ghazali dan penghitungan dia di dalamnya ada perdebatan …

Dan ketujuh adalah yang menanjak ke tempat tinggi Ibn Daqiq al-‘Aid menurut kesepakatan …

Dan abad kesembilan ini sudah datang dan tidak ditinggalkan al-hadi yang telah dihitung dan aku sungguh berharap bahwa aku menjadi mujadid di dalamnya dan karunia Allah tidak bisa diperbaharui …



Ada pendapat-pendapat lain yang terus berlangsung setelah itu.

5. Dan apakah mungkin kita mengetahui pada abad ke-14 yang berakhir pada 30 Dzul Hijjah 1399 H, siapakah untuk masyarakat mujadid agama mereka?

Sangat menarik perhatianku apa yang masyhur pada para ulama yang kredibel bahwa penghujung tahun adalah akhirnya. Umar bin Abdul Aziz dilahirkan pada tahun 61 H dan diwafatkan penghujung abad pertama pada tahun 101 H. Asy-Syafii dilahirkan pada tahun 150 H dan diwafatkan pada penghujung abad ke-2 tahun 204 H …

Artinya masing-masing dari keduanya dilahirkan di pertengahan abad dan menjadi terkenal pada akhirnya dan diwafatkan pada akhirnya. Seperti yang saya katakan, saya merajihkan penafsiran ini dikarenakan sudah terkenal di antara para ulama yang kredibel bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah mujadid pada penghujung abad pertama, dan asy-Syafii adalah mujadid pada penghujung abad kedua. Berdasarkan hal itu maka saya merajihkan bahwa Al-‘allamah Taqiyuddin an-Nabhanirahimahullah adalah mujadid pada penghujung abad ke-14. Beliau dilahirkan pada tahun 1332 H dan menjadi terkenal pada akhir abad ke-14 ini, khususnya ketika beliau mendirikan Hizbut Tahrir pada Jumaduts Tsaniyah tahun 1372 H dan beliau diwafatkan pada tahun 1398 H. Dakwah beliau kepada kaum Muslimin kepada qadhiyah mashiriyah (agenda utama hidup mati), melanjutkan kehidupan islami dengan tegaknya daulah al-khilafah ar-rasyidah, memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan umat, kesungguhan dan keseriusan mereka, hingga al-khilafah hari ini menjadi tuntutan umum milik kaum Muslimin. Maka semoga Allah merahmati Abu Ibrahim, dan semoga Allah SWT merahmati saudara beliau Abu Yusuf setelahnya dan menghimpunkan kedua beliau bersama para nabi, ash-shidiqun, syuhada dan orang-orang shalih dan mereka adalah sebaik-baik teman.

Ini yang saya rajihkan ya akhi Abu Mu`min. Wallah a’lam bi ash-shawâb wa huwa subhânahu ‘indahu husnu al-ma`âb. (www.konsultasi.wordpress.com)



Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

14 Sya’ban 1434 H

23 Juni 2013 M



Sumber :

Rangkaian Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Berbagai Pertanyaan di Akun Facebook Beliau)

Jawaban Pertanyaan: tentang Makna Hadits asy-Syarif

«إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا»

Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini, pada setiap akhir seratus tahun, orang yang memperbaharui agama mereka untuk umat
[konsultasi.wordpress.com]

Keadilan Islam Dalam Keragaman dan Perbedaan

Tindak kekerasan yang melibatkan umat Islam sering oleh kelompok liberal dijadikan alasan untuk menstigma kaum Muslim sebagai entitas yang paling tidak bisa toleran dengan penganut keyakinan lain. Stigma ini sejatinya untuk membenarkan pandangan sesat kaum liberal yang menyatakan bahwa munculnya kekerasan di dunia Islam disebabkan adanya “truth claim” dan “fanatisme”. Menurut mereka, selama umat Islam masih berpegang teguh pada truth claim dan sikap fanatic terhadap agamanya, maka budaya kekerasan akan terus melekat pada diri kaum Muslim. Untuk itu, agar umat Islam bisa bersikap toleran terhadap penganut keyakinan lain, truth claim dan fanatisme harus dihapuskan dengan cara “menyakini kebenaran agama lain” dan memaknai istilah-istilah keagamaan yang berpotensi melahirkan radikalisme—seperti Islam, kafir, jihad, taghut, serta amar makruf nahi mungkar—dengan makna baru yang lebih toleran (sejalan dengan pluralisme-liberalisme). Dengan cara inilah, menurut mereka, kekerasan di Dunia Islam bisa dihilangkan.

Pandangan seperti di atas jelas-jelas keliru dan menyesatkan. Alasannya, ide penghapusan truth claim dan toleransi tanpa batas lahir dari paham sekulerisme-liberalisme dan tidak berhubungan sama sekali dengan Islam. Setiap keyakinan dan gagasan yang tegak di atas akidah selain Islam terkategori keyakinan dan gagasan kufur yang wajib diingkari. Selain itu, gagasan tersebut bertentangan dengan nash-nash qath’i yang menyatakan bahwa agama yang diridhai Allah SWT hanyalah Islam. Selain Islam adalah kekufuran dan kesesatan.

Islam memandang keragaman agama, keyakinan, suku, ras dan bahasa sebagai perkara yang alami dan lumrah. Islam tidak berusaha menghapus keragaman tersebut dengan cara memaksa semua orang untuk meninggalkan agama dan keyakinan mereka. Islam dengan tegas melarang seorang Muslim memaksa orang kafir memeluk agama Islam. Islam hadir untuk mengatur keragaman (pluralitas) yang ada di tengah-tengah masyarakat agar terbina kerukunan dan sikap saling menghargai satu dengan yang lain. Tidak hanya itu, Islam pun menyeru manusia meninggalkan keyakinan dan sistem hidup kufur, menuju agama Islam yang lurus.

Berkaitan dengan toleransi, Islam menggariskan sejumlah ketentuan sebagai berikut:

1. Islam tidak akan pernah mengakui kebenaran agama dan keyakinan selain Islam. Seluruh keyakinan dan agama selain Islam adalah kekufuran. Demokrasi, pluralisme, sekularisme, liberalisme dan semua paham yang lahir dari paham-paham tersebut adalah kekufuran. Begitu pula agama Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, kebathinan, dan lain sebagainya; semuanya adalah kekufuran. Siapa saja yang menyakini agama atau paham tersebut, baik sebagian maupun keseluruhan, tidak ragu lagi, ia adalah kafir. Jika pelakunya seorang Muslim, maka ia telah murtad dari agama Islam. Tidak ada toleransi dalam perkara semacam ini.

2. Tidak ada toleransi dalam perkara-perkara yang telah ditetapkan oleh dalil-dalil qath’i, baik menyangkut masalah akidah maupun hukum syariah. Dalam perkara akidah, Islam tidak pernah toleran terhadap keyakinan yang bertentangan pokok-pokok akidah Islam seperti: ateisme, politeisme, Al-Quran tidak lengkap, adanya nabi dan rasul baru setelah wafatnya Nabi saw, pengingkaran terhadap Hari Akhir dan semua hal yang berkaitan dengan Hari Akhir, dan lain-lain. Adapun dalam persoalan hukum syariah contohnya adalah menolak kewajiban shalat, zakat, puasa, jilbab bagi Muslimah, dan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan berdasarkan dalil qath’i.

3. Islam tidak melarang kaum Muslim untuk berinteraksi dengan orang-orang kafir dalam perkara-perkara mubah seperti jual-beli, kerjasama bisnis, dan lain sebagainya. Larangan berinteraksi dengan orang kafir terbatas pada perkara yang dilarang oleh syariah, seperti menikahi wanita musyrik –kecuali ahlul kitab, menikahkan wanita Muslimah dengan orang kafir, perwalian, dan lain sebagainya. Ketentuan ini tidak bisa diubah dengan alasan toleransi.

4. Ketentuan-ketentuan di atas tentu tidak menafikan kewajiban kaum Muslim untuk berdakwah dan berjihad melawan orang-orang kafir di mana pun mereka berada. Hanya saja, pelaksanaan dakwah dan jihad harus sejalan dengan syariah. Orang kafir yang hidup di Negara Islam dan tunduk terhadap kekuasaan Islam, dalam batas-batas tertentu diperlakukan sebagaimana kaum Muslim. Hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara Daulah Islamiyah sama dengan kaum Muslim. Harta dan jiwa mereka dilindungi. Siapa saja yang berusaha menciderainya, baik Muslim maupun kafir, akan mendapatkan sanksi. Adapun terhadap kafir harbi, maka hubungan dengan mereka adalah hubungan perang. Seorang Muslim dilarang berinteraksi dalam bentuk apapun dengan kafir harbi fi’lan, semacam Amerika Serikat, Israel, dan lain sebagainya.

Inilah ketentuan syariat yang berhubungan dengan toleransi. Adapun dalam kaitannya dengan tindak kekerasan, Islam telah menggariskan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Tindakan kekerasan di dalam Islam bukanlah sesuatu yang tercela atau harus dihindari, asalkan sebab dan syaratnya telah dipenuhi. Tindakan kekerasan seperti jihad, pemukulan edukatif, qishash, dan lain sebagainya, dilakukan secara selektif, tidak sembarangan dan asal-asalan. Misalnya, ketika negeri Islam diinvasi tentara-tentara kafir, kaum Muslim diperintahkan mengangkat senjata mengusir mereka. Begitu pula tatkala penguasa (Khalifah) telah menampakkan kekufuran nyata, seperti mengubah sendi-sendi Islam, menerapkan hukum kufur, dan lain sebagainya, maka kaum Muslim diperintahkan menggulingkan khalifah dan mengangkat senjata melawan mereka jika mampu dan tidak menimbulkan fitnah yang lebih besar. Ketika seorang istri melakukan pembangkangan, seorang suami dibenarkan untuk memukul dia dengan pukulan yang bersifat edukatif, bukan untuk menyakiti atau menganiaya. Dalam keadaan seperti ini, seorang Muslim dibenarkan melakukan tindakan kekerasan.

2. Dalam konteks penyebaran dakwah Islam, Islam mengedepankan dialog argumentatif, dan menjauhi sejauh-jauhnya tindakan kekerasan. Jihad dan qital adalah instrumen yang digunakan untuk melenyapkan halangan dakwah Islam, tetapi bukan metode untuk “mengislamkan seseorang”. Islam tidak memaksa penduduk negeri-negeri yang ditaklukkan untuk masuk ke dalam agama Islam, kecuali orang-orang musyrik di Jazirah Arab. Khusus untuk musyrik Arab, mereka hanya diberi dua pilihan, yakni masuk Islam atau diperangi (jika masih berdiam diri di Jazirah Arab). Yang diminta dari penduduk negeri-negeri yang ditaklukkan adalah ketundukan pada kekuasaan Islam. Adapun untuk mengislamkan seseorang, Islam menggu-nakan cara maw’izhah hasanah, hikmah dan dialog argumentatif. Selain itu, penerapan hukum Islam di tengah-tengah masyarakat yang mampu menciptakan kesejahteraan, keadilan dan rasa aman merupakan da’wah bil hal yang menjadikan orang-orang kafir tertawan hatinya untuk masuk ke dalam agama Islam.

3. Islam menentang semua bentuk kekerasan yang dilakukan tanpa ada alasan syar’i. Bahkan Islam telah menetapkan sanksi yang sangat keras bagi siapa saja yang berusaha menciderai jiwa dan harta seseorang, baik Muslim maupun non-Muslim.

4. Khalifah atau wakilnya saja yang secara syar’i berhak dan absah menjatuhkan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim, seperti hukuman mati bagi orang yang murtad (hudud), jinayat, dan ta’zir. Selain Khalifah dan wakilnya dilarang menjatuhkan sanksi terhadap siapapun yang melakukan pelanggaran,



Sikap Khalifah dan Umat Islam Terhadap Kemungkaran

Seorang Muslim, baik penguasa maupun rakyat, tidak diperkenankan toleran terhadap kekufuran dan kemaksiatan, apapun bentuknya. Kekufuran dan kemaksiatan harus dilenyapkan. Hanya saja, Islam tidak memaksa orang-orang kafir untuk masuk ke dalam agama Islam. Adapun seorang Muslim yang melakukan tindak kemaksiatan, maka ia akan mendapatkan sanksi sejalan dengan ketetapan syariah. Penjatuhan sanksi bagi pelanggar dengan potong tangan, perang, rajam, dan sebagainya, merupakan perkara lumrah yang diakui dalam perspektif Islam. Pengingkaran orang-orang kafir terhadap hukum-hukum Islam, khususnya yang berkenaan dengan jihad, hudud, jinayat, dan sebagainya tidak berarti sama sekali.

Perlakuan Khilafah atas orang-orang kafir dapat dirinci sebagai berikut;

a. Mereka tidak dipaksa untuk meninggalkan agama dan keyakinannya. Mereka dibiarkan menyakini dan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Khalifah tidak akan memaksa mereka untuk beribadah sesuai dengan peribadahan Islam seperti shalat, nikah, puasa, zakat, dan lain sebagainya.

b. Orang-orang kafir yang melakukan tindak pelanggaran seperti perzinaan, pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, dan lain-lain, maka mereka akan mendapatkan sanksi sesuai dengan syariah Islam. Khalifah akan merajam orang kafir yang berzina, memotong tangan orang kafir yang melakukan pencurian, dan sebagainya. Khalifah bisa saja memenjara orang kafir yang melakukan kecurangan, penipuan, dan penggelapan. Dalam konteks seperti ini, mereka diperlakukan sama dengan orang Muslim.

c. Terhadap kaum zindiq seperti orang menyebarkan ajaran sesat, mengaku dirinya nabi dan rasul, dan mempropagandakan pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan akidah Islam—seperti menolak al-Quran dan as-Sunnah, mendewakan Sahabat, ataupun menolak ajaran-ajaran Islam yang qath’i—baik sebagian maupun keseluruhan—maka mereka akan diperangi jika pelakunya adalah orang Muslim. Sebab, mereka telah murtad dari agama Islam dan wajib diperangi. Selain itu, ia telah memecah-belah kesatuan umat Islam melalui pemikiran-pemikiran yang sesat. Ini adalah perlakuan Khilafah terhadap orang zindiq yang pertama kali melakukan kezindiqan. Jika seseorang sejak kecil mengikuti keyakinan sesat yang diajarkan oleh kedua orangtuanya, maka orang tersebut tidak dianggap murtad dari agama Islam. Status orang tersebut adalah orang kafir, dan akan diperlakukan seperti orang-orang kafir lainnya. Ia tidak boleh diperangi dengan alasan murtad dari agama Islam. Pasalnya, ia sejak kecil telah memeluk keyakinan sesat tersebut sehingga tidak dianggap murtad dari agama Islam. Orang-orang seperti ini dianggap sebagai orang kafir dan diperlakukan sebagai orang kafir. Namun, jika ia mengaku-mengaku dan mempropagandakan dirinya sebagai orang Muslim, mereka dianggap zindiq, dan bisa dihukum mati jika tidak menghentikan perbuatannya. Orang seperti ini dianggap melakukan perbuatan memecah-belah kesatuan umat Islam, dan merusak kesucian akidah Islam.

d. Khilafah Islam adalah negara yang menjalankan dakwah Islam. Meskipun ia mengakomodasi semua kemajemukan yang ada di wilayahnya, bukan berarti tidak melakukan aktivitas dakwah. Oleh karena itu, Khilafah tidak akan mengizinkan pembangunan tempat-tempat peribadahan non-Muslim, atau memasukkan ajaran-ajaran kufur ke dalam kurikulum pendidikan negara. Khilafah Islam juga tidak akan menyediakan guru-guru non-Muslim untuk mengajar di sekolah-sekolah resmi negara. Semua hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah, termasuk penyediaan tempat-tempat ibadah, Khilafah Islam tidak akan turut campur, atau memberikan dukungan dan bantuan. Pasalnya, seorang Muslim dilarang melibatkan diri dalam peribadahan orang kafir, termasuk membantu terlaksananya ibadah-ibadah orang kafir. Jika dilakukan, sama artinya telah menolong kekufuran. Tindakan ini dilakukan sebagai wujud dakwah Islam yang diselenggarakan oleh negara. Hanya saja, dalam kedudukannya sebagai warga negara Khilafah Islam, hak dan kewajiban mereka dijamin sepenuhnya oleh negara, tanpa ada pengecualian. Mereka berhak mendapatkan jaminan kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan tempat tinggal yang layak.

Demikianlah, Islam telah menggariskan sejumlah ketentuan yang lebih adil dan toleran dalam batas-batas rasional dan syar’i. Ketentuan Islam menyangkut pluralitas tentu saja jauh unggul dibandingkan apa yang dipropagandakan kelompok plural-liberalis yang sejatinya adalah cecunguk-cecunguk kaum imperialis dan pelanggar HAM nomor wahid.

WalLahu a’lam bi ash-shawab.
[hizbut-tahrir.or.id]

Mempertegas Arah Perubahan

Kita mesti berubah! Namun, tidak hanya sekadar berubah. Perubahan harus terarah. Perubahan yang salah arah pasti akan mendatangkan nestapa. Hanya perubahan yang benar yang akan membawa kita pada kebaikan, keadilan, kedamaian, kesejahteraan dan keridhaan Allah SWT.

Sebagian orang berpandangan bahwa baik-buruknya masyarakat semata-mata bergantung pada pemimpin. Mereka berupaya untuk merebut kekuasaan atau mengganti rezim yang tengah berkuasa. Cara itu tidak melahirkan perubahan apa pun selain sekadar perubahan orang. Sistem perundang-undangan tetaplah seperti semula sehingga masyarakat tetap hidup dalam penderitaan, kezaliman dan kenistaan. Pertanyaannya, kemana perubahan ini semestinya harus diarahkan?


Persoalan Utama

Untuk mengetahui arah perubahan yang benar, kita harus memahami persoalan utama kita. Allah SWT mewajibkan kita mengamalkan seluruh hukum Islam dan menerapkannya di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Simaklah firman Allah SWT:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah (QS al-Hasyr [59]:7).

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ

Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka berdasarkan apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (QS al-Maidah [5]:49-50).


Kata ‘mâ’ dalam kedua ayat tersebut dan ayat senada lainnya berbentuk umum. Artinya, kewajiban melaksanakan hukum syariah Islam itu berlaku untuk semua bidang. Namun, realitas yang ada menunjukkan bahwa hukum syariah Islam tidaklah diterapkan secara kaffah. Masyarakat di negeri-negeri Islam tetap dikuasai oleh pemikiran, perasaan dan peraturan yang tidak islami serta memunculkan banyak sekali kontradiksi. Pada saat mereka meyakini bahwa Mukmin itu bersaudara, mereka justru berpegang teguh pada nasionalisme, fanatisme mazhab dan golongan yang mengakibatkan perpecahan umat. Ketika mereka melihat bahwa negara-negara kafir penjajah adalah musuh, justru mereka menjadikan negara-negara tersebut sebagai sahabat dan tempat meminta pertolongan serta mencari solusi atas berbagai persoalan di negeri-negeri Muslim. Mereka mengikrarkan beriman dengan Islam, tetapi justru mereka menyerukan paham-paham seperti demokrasi, kapitalisme atau sosialisme yang tidak bersumber dari Islam. Mereka meyakini bahwa Nabi Muhammad saw. adalah nabi dan rasul terakhir, tetapi mereka diam saja ketika Rasulullah Muhammad saw. dihina dan dilecehkan.

Kaum Muslim di berbagai belahan dunia hidup dalam masyarakat yang tidak islami. Negeri-negeri Muslim tidak menerapkan syariah Islam. Keamanannya pun bukan di tangan umat Islam.

Berdasarkan hal ini, mengembalikan hukum syariah Islam untuk diterapkan dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara merupakan persoalan utama kaum Muslim saat ini.

Singkatnya, persoalan utama (qadhiyah mashîriyah) kaum Muslim di dunia saat ini adalah mengembalikan hukum Allah SWT melalui jalan menegakkan Khilafah dan mengangkat khalifah atas dasar al-Quran dan as-Sunnah. Untuk apa? Untuk meruntuhkan sistem kufur dan menggantinya dengan hukum Islam; mengubah negeri-negeri Islam menjadi Dâr al-Islam, yakni negeri yang menerapkan syariah Islam dan keamanannya berada di tangan kaum Muslim; menngubah masyarakat di negeri-negeri Muslim menjadi masyarakat islami; serta mengemban Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.

Oleh sebab itu, arah perubahan yang kita tuju adalah melanjutkan kehidupan Islam (isti’nâfu hayâh al-islâmiyyah). Melanjutkan kehidupan Islam maknanya adalah mengembalikan kaum Muslim untuk mengamalkan seluruh ajaran Islam: akidah, ibadah, akhlak, muamalah islami; sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan dan politik luar negeri islami.

Melanjutkan kehidupan Islam juga berarti mengubah negeri-negeri Islam menjadi Dâr al-Islâm serta mengubah masyarakat di negeri-negeri Muslim menjadi masyarakat islami. Misi ini tidak akan dapat terlaksana kecuali dengan tegaknya Khilafah dan mengangkat seorang khalifah bagi seluruh kaum Muslim yang dibaiat atas dasar ketaatan pada al-Quran dan as-Sunnah.


Empat Prinsip Perubahan

Oleh karena itu, perubahan yang kita tuju harus mencakup empat perubahan besar dan mendasar. Pertama: perubahan prinsip kedaulatan di tangan rakyat menjadi kedaulatan di tangan syariah (as-siyâdah li asy-syar’i). Artinya, yang berhak menetapkan hukum benar-salah, halal dan haram, terpuji-tercela, dan dosa-pahala adalah syariah Tegasnya, ubah seluruh sistem hukum Jahiliah menjadi hukum syariah karena yang berhak membuat hukum hanyalah Allah SWT (Lihat: QS Yusuf [12]:40).

Kedua: perubahan kekuasaan di tangan pemilik modal menjadi kekuasaan di tangan umat (as-sulthân li al-ummah). Artinya, pemimpin hanyalah orang yang dipilih oleh umat untuk menerapkan syariah.

Ketiga: menyatukan kaum Muslim dengan mengangkat hanya satu orang khalifah untuk seluruh dunia. Dengan demikian umat Islam benar-benar menjadi umat yang satu (ummah wâhidah).

Keempat: menjadikan hak adopsi (tabanni) hukum berada di tangan Khalifah. Dalam perkara-perkara individual, hukum diserahkan pada hasil ijtihad para mujtahid. Perbedaan pendapat dijamin. Adapun dalam masalah sistem (sosial, politik, ekonomi) Khalifah mengambil salah satu pendapat terkuat di antara pendapat para mujtahid yang telah digali dari sumber-sumber hukum Islam. Hukum Islam yang diadopsi oleh Khalifah inilah yang berlaku di tengah masyarakat.

Inilah empat arah perubahan hakiki yang kita tuju, yang juga adalah empat pilar Khilafah. Oleh karena itu, arah perubahan yang kita inginkan sejatinya adalah penegakkan kembali Khilafah.


Khilafah: Janji Allah SWT

Ingatlah, tegaknya kembali Khilafah merupakan janji Allah yang akan menjadi kenyataan. Rasulullah saw. bersabda:

Pada akhir umatku akan ada khalifah yang menebarkan harta melimpah, yang tidak terhitung jumlahnya
(HR Muslim).

Aktivitas melanjutkan kehidupan Islam sebagaimana dijelaskan di atas tidaklah mungkin dilakukan secara individual (‘amal fardi), tetapi harus secara bersama-sama (‘amal jamâ’i) dalam sebuah kutlah (kelompok) politik karena arah perubahan yang kita tuju adalah perubahan politis. Melalui ‘amal jamâ’i, kita memperkokoh soliditas perjuangan umat; bertarung melawan kekufuran, sistem dan pemikirannya. Melalui ‘amal jamâ’i juga kita harus mengubah pemikiran bukan Islam yang ada di tengah umat menjadi pemikiran Islam. Dengan begitu pemikiran Islam menjadi opini umum di tengah masyarakat dengan pemahaman mendalam yang mendorong mereka untuk menerapkannya. Melalui ‘amal jamâ’i, kita juga harus mengubah perasaan yang tidak islami di tengah umat menjadi perasaan islami hingga masyarakat ridha atas apa yang diridhai Allah dan benci terhadap apapun yang dibenci oleh Allah. Tanpa mengenal lelah, kita harus mengubah semua bentuk interaksi di tengah masyarakat menjadi interaksi yang sesuai dengan syariah Islam. Pendek kata, kita harus terus menanamkan Islam ke dalam tubuh umat dan terus bergerak menuntut perubahan di tengah masyarakat hingga Khilafah tegak. Bina umat, berjuang bersama umat dan tegakkan Khilafah! Itulah jalan yang harus ditempuh.

Boleh saja ada orang yang mengatakan bahwa jalan demikian ini sulit dan lama. Boleh saja ada yang berpendapat seperti itu. Namun, ingatlah bahwa inilah jalan satu-satunya yang dicontohkan oleh Baginda Rasulullah saw. sebagai jalan yang akan membawa pada kemenangan Islam. Tidak ada jalan lain. Memang, jalan ini jalan yang panjang dan berliku, penuh onak dan duri. Namun, kita sudah berada di ujung jalan keberhasilan. Insya Allah, berdasarkan fakta-fakta yang ada di berbagai negeri Muslim, tegaknya Khilafah kiranya tinggal menunggu waktu saja! Oleh karena itu, camkanlah: “Layar telah terkembang. Pantang biduk pulang ke pantai. Pergilah dan teruslah kalian berjuang! Jangan kembali pulang, hingga kemenangan itu datang!” [al-wa'ie/hizbut-tahrir.or.id]

BULAN PERUBAHAN - Ramadhan Hari-9: UBAH PERSEPSI

Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu persepsinya tentang berbagai hal.

Persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu serapan. Persepsi ini dihasilkan dari informasi yang masuk ke pancaindera seseorang, kemudian oleh otaknya dihubungkan dengan berbagai informasi yang telah ada sebelumnya, baik informasi yang masih mengambang, maupun yang sudah mantap atau dianggap referensi.

Namun kualitas persepsi juga tergantung kecepatan orang berpikir dan berapa banyak otaknya dilatih. Otak manusia memiliki keunikan, yakni makin sering dipakai, makin cepat dia berpikir dan makin banyak yang bisa disimpannya. Tetapi kualitas latihan ini juga tergantung jenis informasi yang dimasukkan. Ada informasi-informasi yang memperkuat otak, tetapi ada juga yang justru melemahkannya. Membaca Qur'an, memecahkan persoalan matematika atau menganalisis berita politik, adalah termasuk informasi yang memperkuat otak. Sedang pornografi, opera sabun atau gossip murahan, adalah informasi yang melemahkan. Otak melemah karena banyak sel-sel di otak yang terlena atau non aktif, kecepatan berpikir jadi berkurang, dan akibatnya persepsi yang dihasilkannyapun tidak optimal.

Di dunia bisnis, banyak analis ekonomi atau perencana keuangan yang berlatar belakang sains/teknik, karena konon otak mereka lebih terlatih memecahkan persoalan yang lebih rumit, sehingga terasa ringan dan lebih cepat ketika menghadapi persoalan bisnis atau finansial. Itulah kenapa, para ilmuwan zaman dulu selalu melalui masa kanak-kanak sebagai penghafal Qur'an, atau ulama fiqih juga belajar matematika. Di sisi lain, setiap orang yang sedang menghafal Qur'an wajib menghindari maksiat. Bahkan menonton dangdut dengan biduanita yang mengumbar aurat bisa menghilangkan 1-2 juz dari memory.

Adapun persepsi itu sendiri bisa bermacam-macam. Ada persepsi tentang diri sendiri. Ada persepsi tentang orang lain. Juga persepsi tentang alam semesta, masyarakat, negara, dan sebagainya. Semuanya akan menentukan apa yang akan dilakukan orang itu kemudian.

Orang yang mempersepsikan dirinya hanya sebagai korban yang malang dari sistem yang rusak, relatif akan lebih sering mengeluh dan menyalahkan pihak lain, tentunya paling banyak menyalahkan pemerintah, tetapi bisa juga menyalahkan konspirasi asing, bahkan dajjal. Sebaliknya orang yang mempersepsikan dirinya sebagai sosok pilihan, penyelamat korban dari sistem rusak, tentunya akan sibuk mencari solusi yang bisa dilakukan, agar korban selanjutnya tidak perlu berjatuhan lagi. Mereka berprinsip "tidak perlu mengutuk kegelapan, tetapi nyalakan lilin atau bangun pembangkit listrik yang akan menerangi semuanya".

Orang yang memiliki persepsi bahwa dunia ini penuh dengan konspirasi, akan relatif menjadi pencuriga. Semua hal yang dihadapi dinilai dari kaca mata hitam konspirasi. Bahkan andaikata anaknya yang malas belajar dapat rapor merah, atau rumahnya yang tidak memiliki penangkal petir kena musibah (yakni kesambar petir), respon pertamanya adalah "ada konspirasi yang tertuju pada keluarga atau rumahnya".

Kadang-kadang batas antara curiga akibat memiliki persepsi konspiratif, dengan waspada karena memiliki persepsi yang ideologis, itu tipis. Dari sisi "kecepatan berpikir" keduanya hampir sama. Yang membedakannya adalah "kualitas berpikir". Persepsi ideologis itu akurat, sistemik, konstruktif dan siap divalidasi dengan pisau analisis apapun, sedang persepsi konspiratif itu cenderung sebaliknya.

Tentu saja, persepsi ideologis inipun masih tergantung ideologi apa yang mendasarinya. Ideologi sosialis, kapitalis, ataukah ideologi islam? Peristiwa politik atau ekonomi yang sama akan dipersepsikan dengan amat berbeda. Di sinilah kembali diperlukan sesuatu yang lebih mendasar lagi: aksioma, asumsi dasar yang dianggap benar, atau dalam istilah Arab disebut: AQIDAH.

Aqidah ini akan meletakkan cara pandang terhadap dunia. Apakah dunia ada dengan sendirinya melalui proses evolusi ? Ataukah dunia itu diciptakan oleh sosok Tuhan kemudian Tuhan meletakkan manusia di dalamnya untuk mengatur dirinya sendiri ? Ataukah dunia ini diciptakan Tuhan dan sudah dilengkapi dengan satu set manual untuk menguji manusia siapa yang lebih baik amalnya ?

Maka ternyata, bagaimana kita akan merubah nasib kita di masa depan, sangat tergantung dari aqidah apa yang kita pilih untuk mendasari persepsi yang kita gunakan dalam memahami dunia. Orang yang menolak keberadaan Tuhan, sama sekali tidak akan menyertakan Tuhan dalam analisnya, sekalipun hanya untuk mengambil hikmah. Orang yang menerima keberadaan Tuhan tetapi menolak campur tangan Tuhan dalam kehidupan, tidak akan menengok ajaran Tuhan untuk ikut memberikan solusi atas kejadian apapun. Sementara itu, seorang muslim, akan melihat setiap kejadian, yang menyenangkan ataupun menyusahkan, sebagai ujian dari Allah untuk menguji siapa yang paling baik amalnya. Kalau ada bencana, dan dia adalah salah satu korbannya, maka itu untuk menguji kesabarannya dan introspeksi pada amalnya selama ini; sedang kalau dia bukan salah satu korbannya, maka itu untuk menguji sejauh mana dia berkontribusi meringankan beban korban bencana, baik secara sporadis maupun sistematis, baik yang sifatnya teknis maupun non teknis.

Contoh: Kalau banjir itu cuma insidental, maka itu persoalan teknis belaka. Tetapi kalau banjir itu selalu terjadi, berulang, dan makin lama makin parah, maka itu pasti persoalan sistemik. Kalau banjir sistemik itu dapat selesai dengan bendungan baru, pompa baru, kanal baru dll, maka itu sistemik-teknis. Namun, kalau itu menyangkut tata ruang yang tidak dipatuhi, kemiskinan yang mendorong orang menempati sempadan sungai, keserakahan yang membuat daerah hulu digunduli, sistem anggaran yang tidak adaptable untuk atasi bencana, pejabat yang tidak kompeten dan abai mengawasi semua infrastruktur, dsb, maka itu sudah terkait dengan sistem-non teknis. Dan sistem non teknis ini kalau saling terkait dan berhulu pada pemikiran mendasar bahwa semua ini agar diserahkan kepada mekanisme pasar dan proses demokratis yang cuma bervisi 5 tahun, maka persoalannya sudah ideologis.

Kalau persepsi kita melihat bahwa akar masalahnya hanya sebatas teknis, maka cukuplah upaya-upaya teknis. Tetapi jika sudah akar masalahnya sampai ideologis, maka jalan keluarnyapun harus ideologis, yakni dengan mengganti ideologi kapitalisme-sekuler dengan ideologi Islam.

Mestinya Ramadhan adalah bulan untuk merubah persepsi kita. Mudah-mudahan, pada hari ke-9 bulan Ramadhan, kita sudah bisa merubah persepsi kita memandang kehidupan, agar Allah merubah nasib kita. [Fahmi Amhar]

BULAN PERUBAHAN - Ramadhan Hari-8: UBAH INTERNALISASI

Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu cara mereka meng-internalisasi (menghayati) apa yang mereka telah ketahui dan amalkan.

Perbedaan manusia dengan malaikat adalah, manusia itu diberi kebebasan memilih, apa yang ingin dilakukannya. Kalau malaikat semuanya taat, tidak bisa ingkar atau maksiat. Malaikat tidak diberi pilihan. Manusia bisa memilih. Pilihan itu sesuai dengan apa yang diketahuinya, dan apa yang setelah itu menurutnya bermanfaat atau menguntungkannya, baik langsung maupun tak langsung, baik dalam jangka pendek atau jangka panjang.

Tanpa internalisasi, banyak amal dilakukan tanpa ruh, hanya seperti robot. Ada orang sholat sudah puluhan tahun, bahkan juga pergi haji berkali-kali, tetapi tetap belum bisa "menghadirkan" Allah dalam dirinya. Dia kesulitan merasakan nikmatnya ihsan dan ihlas. Dia belum pernah bisa merasakan nikmatnya menangis di depan Allah, atau tergetar hatinya ketika mendengar ayat-ayat Allah. Hanya orang yang rajin melatih meng-internalisasi amalnya itu yang mampu merasakan kelezatan iman.

Ketika dia wudhu, dia merasakan Allah sedang membersihkan noda-noda dosa dari dirinya. Ketika dia sujud, dia merasa bersimpuh di depan Allah Yang Maha Perkasa yang siap menghukumnya atas kesalahannya. Bahkan, setiap hari ketika dia merasakan lembutnya sinar matahari pagi, hatinya bisa tergetar, betapa Allah Maha Mengasihinya. Padahal, Allah sangat mampu menjadikan syarafnya mati, sehingga dia tidak mampu lagi merasakan lembutnya sinar matahari itu.

Di sisi lain, orang yang mampu menghayati pengetahuannya, akan mampu tetap bersikap "cool", ketika ada sesuatu yang bagi orang lain selintas tidak lazim, tidak bermanfaat atau tidak menguntungkan. Seorang jenius seperti Albert Einstein begitu tenang ketika orang mengolok-oloknya ketika dia mengusulkan teori relativitas sebagai cara pandang baru tentang alam semesta. Bayangkan, waktu itu dia masih seorang anak muda berumur 26 tahun, belum memiliki karier ilmiah, dan dia juga tidak bekerja di suatu lembaga yang memiliki tupoksi penelitian fisika. Ketika 14 tahun kemudian teorinya terbukti sesuai dengan pengamatan empiris, dia juga tetap cool, karena dia memang sudah menghayatinya sejak awal.

Para sahabat Nabi pun adalah orang-orang yang begitu menghayati apa yang mereka dengar dari Nabi. Ketika Qur'an mengabarkan tentang kenikmatan hidup di surga, maka surga itu seakan-akan ada di pelupuk mata mereka, sehingga mereka rela mengorbankan apa saja agar bisa memasuki surga. Seorang sahabat yang ikut perang Badar bahkan membuang setengah kurma di mulutnya, karena merasa memakan setengah kurma itupun terlalu lama untuknya, kalau dia akan masuk surga. Sahabat itu terbukti kemudian syahid di Perang Badar. Sebaliknya, ketika Qur'an mengabarkan tentang adzab di neraka, maka neraka itupun seakan-akan ada di pelupuk mata mereka, sehingga mereka bersegera dalam meninggalkan segala yang dilarang. Bahkan ketika ayat yang mengharamkan minuman keras (khamr) diumumkan, ada orang yang sedang siap-siap menuangkan kendi berisi khamr ke mulutnya, langsung dibatalkan dan kendi itu dipecahkan seketika itu juga.

Dewasa ini banyak orang yang alim dalam arti memiliki cukup pengetahuan. Namun pengetahuan mereka tidak merasuk hingga ke sukma. Akibatnya pengetahuan itu tidak menjadi faktor pengubah kehidupan mereka.

Pada umumnya, mereka yang gagal dalam internalisasi pengetahuannya itu, disebabkan oleh 3 hal:
1. Adanya ketakutan akan sesuatu, yang mungkin juga mitos atau asumsi. Misalnya, ada muslimah yang belum memakai jilbab karena khawatir akan dipecat dari tempat kerjanya, atau sulit dapat jodoh.
2. Adanya kepentingan yang dia harapkan. Misalnya, ada muslimah yang melanggar larangan tabarruj (bersolek) di depan publik, karena berharap dia "posisi tawar"-nya akan naik.
3. Adanya keyakinan tertentu yang dia pegang. Misalnya, ada muslimah yang masih meyakini bahwa dalam pernikahan itu usia suami harus lebih tua dari usianya, sehingga berkali-kali menolak lamaran hanya karena faktor usia.

Padahal muslimah itu jelas mendapatkan dari berbagai kajian yang diikutinya, bahwa jilbab itu wajib, tabarruj di depan non mahram itu haram, dan tidak ada hal yang mengharuskan usia suami lebih tua dari istri. Tetapi internalisasi pengetahuan itu dalam dirinya masih belum berhasil.

Di masyarakat maupun negara, tingkat internalisasi nilai atau aturan syari'at yang bersifat kolektif, jelas lebih penting lagi, agar masyarakat dan negara itu berubah menjadi lebih baik. Mereka wajib menginternalisasi konsekuensi ukhrowiyah akan pentingnya pemberantasan korupsi, pentingnya pembangunan yang baik, pentingnya memelihara fasilitas umum, hingga pentingnya selalu mengawasi kerja pemerintah.

Ketika seorang surveyor sedang menyiapkan sebuah peta rupabumi (topografi), mestinya dia kerjakan dengan internalisasi bahwa dia sedang menyiapkan sebuah alat, yang dengan itu jika kelak ada bencana, pertolongan dapat mudah dilakukan berbekal peta yang dibuatnya. Seorang sopir yang sedang mengemudikan angkot membawa anak sekolah, mestinya dia kerjakan dengan internalisasi bahwa dia sedang mengantar tunas-tunas bangsa, yang di antara mereka kelak akan menjadi pemimpin umat yang akan membebaskan kaum muslimin dari keterpurukan.

Sekalipun surveyor atau sopir angkot itu di dunia merasa profesinya belum dihargai sepantasnya, tetapi internalisasi tadi akan membuatnya bahagia, karena dia yakin, Allah Yang Maha Kaya pasti akan membalas setiap kebaikan dengan kebaikan. Rasa bahagia itulah yang kelak akan memberi jalan bagi perubahan dalam hidupnya.

Mestinya Ramadhan adalah bulan untuk merubah cara kita internalisasi. Mudah-mudahan, mulai masuk malam-8 bulan Ramadhan, kita sudah bisa merubah cara kita menghayati setiap amal dan dan menghadirkan konsekuensi perbuatan yang kita ketahui, agar Allah merubah nasib kita. [Fahmi Amhar]

Selasa, 16 Juli 2013

Doa Dapat Mengubah Taqdir? Penjelasan Syaikh Atha’ Abu Rasytah

Apakah doa dapat mengubah taqdir? Masalah ini dijelaskan oleh Asy-Syaikh Atha’ Abu Rasytah dalam kitab beliau, at-taisiir fii Ushuulit tafsiir halaman 226 hingga 227, tatkala beliau sampai pada tafsir surat al Baqarah ayat 186. Beliau menyatakan:

“Terkabulkannya doa tidak berarti adanya perubahan taqdir atau perubahan tulisan di dalam al-lauhul Mahfudh atau perubahan di dalam ilmu Allah. Dengan kata lain, terkabulnya doa tidak berarti bahwa (sebelumnya) Allah tidak mengetahui akan doa si hamba berikut pengabulanNya terhadap doa tersebut, sedemikian sehingga doa itu tidak termaktub di dalam al-Lauhul Mahfudh.

Oleh karena itu, tidak dapat ditanyakan “bagaimana bisa Allah mengabulkan doa hambaNya sementara taqdir Allah telah sempurna dan penulisan di al-Lauhul Mahfudh telah selesai?” Tidak dapat dikatakan demikian karena doa dan pengabulannya bukanlah suatu hal yang baru yang tidak diketahui oleh Allah, namun duduk perkaranya adalah sebagai berikut:

Sesungguhnya qadar adalah ilmu Allah, yaitu penulisan di dalam al-Lauhul Mahfudh. Segala sesuatu yang ada telah tertulis di dalamnya sejak azali. Dengan begitu, Allah sudah tahu bahwa si fulan akan berdoa kepadaNya, jika Allah telah menentukan akan mengabulkan doanya itu, maka ditulislah bahwa si fulan akan berdoa meminta ini dan itu, dan bahwasanya dia akan mendapatkan ini dan itu. Dengan demikian, doa bukanlah suatu hal yang baru yang tidak diketahui oleh ilmu Allah dan tidak tertulis di al-Lauhul Mahfudh, demikian pula dengan terkabulkannya doa. Akan tetapi, segala sesuatu yang ada telah terdaftar di dalam al-Lauhul Mahfudh, karena Allah mengetahui yang gaib, mengetahui apa yang dilakukan oleh hambaNya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, dan segala sesuatu sebelumnya telah tertulis sejak masa azali.

Dengan demikian doa yang dipanjatkan oleh seorang hamba telah diketahui oleh Allah dan telah tercatat sebagaimana adanya. Demikian halnya dengan pengabulannya, sesuai kehendak Allah, ia pun tertulis sejak azali. Dengan demikian, doa dan pengabulannya tidak berada di luar pengetahuan Allah, akan tetapi, keduanya terdaftar di dalam al-Lauhul Mahfudh persis sebagaimana keduanya itu akan terjadi. Karena Allah adalah Dzat yang mengetahui hal yang gaib dan yang tampak, “tidak ada sebutir atom pun yang ada dilangit maupun di bumi yang tersembunyi dariNya.” [visimuslim.com]

BULAN PERUBAHAN - Ramadhan Hari-7: UBAH INFORMASI

Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu perlakuannya terhadap informasi, baik yang datang kepadanya, maupun yang pergi darinya.

"Katakanlah, buku apa yang kau baca, siaran radio apa yang kau dengar, tayangan TV mana yang kau tonton, dan situs internet mana yang kau kunjungi, maka kami bisa tahu, kamu ini manusia seperti apa, dan sepuluh tahun lagi, kau akan jadi apa".

Manusia adalah satu-satunya mahluk di muka bumi yang dapat menerima berbagai jenis informasi, mengolahnya, menyimpannya, menyajikannya dalam bentuk lain, dan menyebarluaskannya sehingga dapat dimanfaatkan oleh generasi jauh sesudahnya. Tidak ada binatang yang menyimpan pengalamannya dalam sebuah media yang bisa dimanfaatkan binatang lain yang tidak pernah bertemu dengannya.

Karena itu, informasi memiliki kekuatan merubah. Bahkan, di abad-21 M ini, diyakni bahwa informasi lebih kuat dari kapital, lebih kuat dari senjata, bahkan lebih kuat dari tenaga berjuta manusia.

Tetapi untuk bisa mengubah nasibnya ke arah yang dikehendaki dengan informasi, seseorang wajib mengubah perlakuannya terhadap informasi. Dia harus mampu memilah sumber informasi yang tepat, menggunakan akal sehat yang dimilikinya untuk menilai, apakah informasi itu layak dipercaya atau tidak, layak dimanfaatkan atau tidak, layak diteruskan atau dibuang saja.

Secara alamiah, informasi itu ada tiga jenis.

Ada informasi yang bersifat objektif/induktif, tidak tergantung siapa yang bicara, tetapi dapat dinilai dari logika di dalam informasi itu sendiri. Ini biasanya menyangkut kesimpulan sebuah analisis dari premis-premis yang diketahui sebelumnya. Misalnya, kalau ada dua fakta: (1) Nabi mendapat wahyu sehingga terjaga dari segala kesalahan di bidang agama; (2) Nabi berkata, bahwa mujtahid itu kalau benar dapat 2 pahala, kalau salah dapat 1 pahala. Kesimpulannya: Nabi itu bukan mujtahid, karena nabi tidak bisa salah. Pernyataan ini benar, karena konsisten dengan premisnya.

Contoh lain, ada seorang pengamat politik menyatakan, bahwa "Semua pengamat politik itu ngawur". Pernyataan ini jelas salah, karena mengandung paradox di dalam dirinya, karena dia sendiri pengamat politik, berarti dia juga ngawur. Padahal kalau dia ngawur, maka pernyataan "Semua pengamat politik itu ngawur" itu salah, berarti yang benar justru "tidak semua pengamat politik itu ngawur".

Tidak semua informasi yang objektif, itu sudah lengkap. Kalau objeknya rumit, maka tidak semua premisnya lengkap. Karena itu, kesimpulan yang dibangun, suatu saat masih mungkin direvisi. Dulu, berabad-abad orang puas memodelkan gerakan planet dengan fisika Newton. Belakangan, Einstein menunjukkan bahwa model gravitasi yang mengatur gerakan planet itu jauh lebih rumit. Einstein maju dengan teori relatifitas umum. Belakangan, data yang terkumpul menunjukkan bahwa Einstein lebih mendekati kebenaran. Fisika Newton tidak salah total, tetapi dapat dipandang sebagai penyederhanaan dari fisika Einstein, dan tidak berlaku ketika ada medan gravitasi yang besar, atau kecepatan yang tidak lagi dapat diabaikan terhadap cahaya. Ketika ternyata premis itu tidak lengkap, maka kebenaran kesimpulannya dapat direlatifkan.

Ada pula informasi yang bersifat deduktif, ini tergantung siapa yang bicara, punya otoritas tidak? Kalau soal nama anak, itu pasti yang punya otoritas adalah orang tuanya. Jadi kalau orang tuanya menyebut nama anaknya "Faiz", maka itu pasti benar, dan pasti salah yang menyebut anaknya "Bejo", meskipun maknanya sama. Kalau soal rambu lalu lintas, itu yang punya otoritas adalah Polantas bersama DLLAJR. Jadi kalau ada rambu "verboden", maka pasti salah kalau orang masuk ke situ. Di sini kebenaran tidak relatif.

Demikian juga kalau soal keberadaan surga/neraka, dan sifat-sifat calon penghuninya, itu yang punya otoritas adalah yang menciptakannya, Allah swt. Tentunya Allah berkata melalui rasul-Nya yang membawa bukti kenabian (mukjizat).

Ada pula informasi yang bersifat naratif, ini tergantung dari akurasi dan kejujuran rantai informasi (informan).
Kadang, informan pertama yang melihat fakta sudah dihinggapi oleh bias definisi. Misalnya seekor kucing disangka harimau. Rupanya definisinya tentang harimau adalah yang oleh orang lain masih dianggap kucing.
Bias berikutnya adalah alat yang dipakainya. Ada alat yang peka dan teliti, ada yang kurang peka.
Lalu ada bias kondisi. Informan yang dalam kondisi tidak fit, misalnya mengantuk, letih, lapar, atau sedang ada keperluan lain yang membuatnya terburu-buru, pasti tidak seakurat informan yang dalam kondisi ideal.
Kemudian ada bias pemrosesan. Sebagian informasi pasti diproses dulu, dihubungkan dengan informasi lain atau suatu model yang dihinggapi asumsi. Akibatnya, dua informan yang sama, bisa menilai kondisi dengan cara yang berbeda. Informan yang pemberani akan berbeda laporannya dengan informan yang penakut. Informan yang cerdas akan berbeda dengan informan yang biasa-biasa saja. Informan yang islami akan berbeda dengan informan yang sekuler.

Terakhir, informasi itu bisa disajikan dengan cara yang berbeda. Informan yang halus dan santun tutur katanya, akan berbeda dengan informan yang kasar atau cenderung memilih kata-kata yang menyinggung perasaan. Informan yang optimis akan melihat masalah sebagai peluang, sedang informan yang pesimis akan melihat peluang sebagai masalah.

Itulah kondisi informasi yang kita hadapi. Mau tidak mau kita memang harus memilah dan memilih informasi yang akan kita ambil, kita percaya, kita jadikan acuan dalam mengambil keputusan, dan akan kita sebarkan.

 Seorang muslim tentu diharapkan memilih rantai informasi yang pemberani (agar tidak takut ditekan pihak manapun), cerdas dan islami. Tetapi untuk informasi yang sifatnya induktif atau deduktif, tentunya dia tetap harus menggunakan akal sehatnya, untuk menilai apakah kesimpulan analisis dalam informasi itu layak diambil atau tidak. Dewasa ini banyak sumber informasi dengan bias ideologis, baik yang terlalu pro-Islam maupun terlalu anti-Islam. Yang pro Islam akan mengumbar berita yang terlalu positif untuk Islam, sekalipun tidak masuk akal (misalnya bahwa ada astronot yang mendengar adzan di bulan), atau yang terlalu negatif untuk lawannya (misalnya bahwa Amerika ada di balik tsunami Aceh 2004). Hal-hal yang diberitakan itu terlalu tidak masuk akal sehat, karena bertentangan dengan fakta ilmiah yang dapat diverifikasi oleh siapapun dengan ideologi apapun. Jadi meskipun pro-Islam, sumber informasi yang sudah bias sebenarnya sudah tidak layak.

Hal serupa tentu saja perlu kita terapkan pada sumber Informasi yang terlalu anti-Islam.

Dan nasib kita sendiripun juga ditentukan, seperti apa informasi yang meninggalkan kita, artinya yang kita keluarkan ataupun yang orang lain menilai tentang diri kita.

Ada orang yang sebenarnya orang baik atau berprestasi, tetapi kebaikan atau prestasinya laksana gunung es, sebagian besar berada di bawah permukaan, tidak tampak, sementara yang tampak justru kejelekannya atau kegagalannya. Hal ini karena sikapnya yang membuat orang mendapatkan informasi bahwa dia orang jelek atau wanprestasi. Sebaliknya, ada juga jago pencitraan, yang kejelekannya tertutupi oleh kebaikannya, walaupun sebenarnya kebaikannya itu masih amat sedikit.

Yang terbaik tentu saja orang yang kebaikannya mendominasi, baik di area yang tidak kelihatan maupun di area yang kelihatan. Sehingga orang mendapatkan informasi yang benar tentang dirinya. Ini bisa dimulai ketika dia juga terbiasa memilih informasi yang benar tentang dunia sekitarnya.

Mestinya Ramadhan adalah bulan untuk merubah cara kita memperlakukan informasi. Mudah-mudahan, mulai masuk malam-7 bulan Ramadhan, kita sudah bisa merubah INFORMASI yang kita terima atau yang meninggalkan kita, agar Allah merubah nasib kita. [Fahmi Amhar]

BULAN PERUBAHAN - Ramadhan Hari-6: UBAH ASUMSI

Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu asumsi-asumsi yang selama ini digunakannya.

Dunia ini penuh dengan asumsi (anggapan yang dianggap benar). Tidak hanya untuk negara setiap membuat RAPBN yang dimulai dengan beberapa asumsi (misal nilai tukar Dollar, lifting minyak, dsb), setiap hari orang beraktivitas pun dengan menyimpan asumsi di dalamnya. Contoh dari asumsi itu: dia berangkat ke tempat kerja karena berasumsi di sana ada sesuatu yang dapat dikerjakannya, atau kalau dia tidak berangkat, dia akan mendapatkan sanksi, setidaknya sanksi sosial (malu), karena orang-orang lain juga berangkat, dan mereka sama-sama dibayar untuk itu. Tentunya akan sangat berbeda, kalau dari awal dia punya asumsi bahwa di kantor tidak ada yang dapat dikerjakannya, atau di sana dia akan mendapatkan suasana yang tidak enak, yang membuatnya makin lama merasa justru makin membusuk.

Orang mencari sebuah tempat juga menyimpan asumsi. Minimal, dia berasumsi bahwa alamat yang dituju itu memang ada, bukan fiktif, bukan pula palsu. Karena itu, di kehidupan nyata, tidak ada orang yang pergi mencari Negeri Dongeng, karena negeri itu memang hanya ada di dalam dongeng di majalah anak-anak. Demikian pula, se real apapun film Harry Potter, tidak ada orang yang serius mencari sekolah bernama Sekolah Sihir Hogwarts, karena semua berasumsi bahwa itu hanya khayalan.

Setelah berasumsi bahwa tempat yang dituju ada, maka dalam perjalanan ke sana orang juga berasumsi bahwa di jalan raya secara umum orang lain akan mematuhi aturan lalu lintas. Tanpa asumsi ini, kita akan sangat sulit berperilaku di jalan, misalnya di sisi kiri atau kanan kendaraan kita berjalan, atau kalau lampu lalu lintas berwarna hijau kita sebaiknya jalan terus atau berhenti.

Ketika sampai di tempat tersebut, orang juga akan berperilaku sesuai asumsi. Misalnya, orang Indonesia yang biasa buang sampah atau meludah sembarangan, begitu sampai ke Singapura akan mendadak takut buang sampah atau meludah sembarangan. Hal ini karena dia berasumsi, di Singapura ada hukum kebersihan yang sangat ketat, konon buang sampah sembarangan bisa didenda 100 Dollar, dan penegak hukumnya sangat tegas, tidak bisa disuap. Asumsi ini yang membuat Singapura menjadi kota terbersih di dunia, termasuk di tempat-tempat yang tidak ada polisi.

Asumsi ini muncul karena sebab yang bermacam-macam. Yang terbanyak adalah karena tradisi (al-urf) yang sudah dibuat orang sebelumnya, yang bisa saja bersumber dari mitos. Bisa juga itu peraturan yang telah lama tersosialisasikan dan dipatuhi. Namun ada juga asumsi karena pengalaman individual, baik dialami sendiri atau didengar dari pengalaman orang lain.

Yang repot kalau asumsi ini bersifat negatif. Misalnya orang Barat berasumsi bahwa orang Islam - apalagi Arab dan keriting - itu bebal-bebal, susah diajak berpikir kritis dan maju. Asumsi bahwa orang Jawa itu nrimo (pasrah pada nasib), lelaki Sunda itu pemalas, dan perempuan Minang itu matre. Di sini asumsi sama dengan prasangka. Dan benar menurut Qur'an: sebagian besar prasangka itu dosa. Prasangka adalah asumsi yang tidak rasional. Biasanya ini hanya karena secuil pengalaman buruk individual, tidak mewakili populasi, apalagi hasil survei. Khusus untuk asumsi yang bias gender atau rasis ini saya katakan: "Semua orang Jawa itu sesat ... " (padahal saya juga orang Jawa), terus saya lengkapi, "Semua orang Jawa itu sesat, kecuali yang beriman dan beramal shalih". Hal yang sama tentu juga bisa diterapkan untuk semua etnis.

Contoh asumsi negatif yang lain adalah yang menyangkut kelemahan diri, sehingga diri enggan berubah. Misalnya ucapan, "Yach, saya belum dapat hidayah, padahal kalau Allah kehendaki, tentu tak ada yang menghalangi", "Rejeki itu di tangan Tuhan, kalau memang buat saya, ya akan sampai juga", "Saya bukan orang Arab, nggak berbakat untuk belajar huruf Arab", dan sebagainya.

Dampak asumsi ini bisa mengerikan.

Asumsi bahwa Tuhan memang belum memberinya hidayah, membuatnya hanya menunggu, bukannya malah giat memburu hidayah. Akibatnya meski sudah mapan, bekal sudah cukup, tetapi tidak juga mendaftar untuk berangkat haji atau pergi berdakwah. Dia berasumsi haji atau dakwah itu harus pangglan, sementara dia merasa belum dapat panggilan. Bagi pengemban dakwah, asumsi di atas bisa juga membuatnya pasif, belum-belum menganggap orang lain "susah", sehingga tidak berusaha lebih empati atau lebih kreatif dalam mendekati dan menggarap target dakwahnya.

Asumsi bahwa rejeki itu sudah ditentukan Tuhan, membuatnya pasif menunggu pemberian orang, bukannya aktif, kreatif dan optimis, berusaha menjemput rejeki yang jauh lebih besar yang pasti memang telah ditentukan Tuhan, dan tetap disyukuri bila setelah berusaha hasilnya belum sebesar yang diharapkan.

Asumsi bahwa dia tidak berbakat belajar huruf Arab, menghalanginya belajar membaca Qur'an atau bahasa Arab, bukannya malah lebih rajin lagi. Bukankah air biarpun jatuh setetes demi setetes, kalau berpuluh tahun, bisa pula melubangi batu yang keras?

Intinya, kalau mau berubah, kita memang harus merubah asumsi-asumsi dalam kita. Asumsi-asumsi yang negatif harus kita ganti. Asumsi yang tidak rasional harus diganti dengan asumsi rasional yang ada dasarnya dalam Kitabullah atau Sunnah Rasul, atau ada dasarnya menurut ilmu pengetahuan.

Termasuk asumsi yang harus kita ubah adalah asumsi bahwa kondisi umat Islam yang terpuruk dan terkotak-kotak dalam lebih dari 50 negara bangsa saat ini sudah final, mustahil diubah lagi. Asumsi bahwa akhir dari sejarah adalah kemenangan kapitalisme. Asumsi bahwa demokrasi itu adalah sistem pemerintahan terbaik bagi manusia. Asumsi bahwa tidak mungkin melakukan pembangunan tanpa hutang dan tidak mungkin hutang tanpa melibatkan bunga. Asumsi-asumsi ini semua harus kita ubah, karena didasarkan hanya pada mitos-mitos dan kompromi-kompromi yang tidak memuaskan akal, tidak menenangkan jiwa, serta tidak menyelesaikan permasalahan manusia. Kita ganti dengan asumsi bahwa ajaran Islam telah lengkap, mengatur segala urusan dengan cara yang khas termasuk urusan pemerintahan, dan umat Islam adalah umat yang terbaik yang dihadirkan Allah di tengah manusia, dan bahwa Khilafah yang mempersatukan umat Islam akan bangkit lagi. Sebenarnyalah ini bukan sekedar asumsi, karena ada realita empiris di masa lalu. Kalau kita menggunakan asumsi ini, maka persepsi dan aksi kita ke depan akan sangat berbeda.

Kita harus berasumsi bahwa kalau kita mendekati Allah sejengkal, Allah akan mendekati kita sehasta. Kalau kita mendekati Allah dengan berjalan, Allah akan mendekati kita dengan berlari. Ini asumsi yang bersumber dari iman Islam. Jadi, hidayah harus kita dekati, bukan kita tunggu ! Berkah harus kita rengkuh, bukan kita nanti. Kita rengkuh dengan menerapkan syari'at mulai dari diri kita, dan kita perjuangkan agar diterapkan di masyarakat dan disebarkan ke seluruh dunia oleh negara yang punya komitmen untuk itu. Negara yang punya komitmen untuk menjadi jalan hidayah dan keberkahan bagi seluruh warganya.

Mestinya Ramadhan adalah bulan untuk merubah asumsi-asumsi kita. Mudah-mudahan, mulai masuk malam-6 bulan Ramadhan, kita sudah bisa merubah ASUMSI kita, agar Allah merubah nasib kita. [Fahmi Amhar]

BULAN PERUBAHAN - Ramadhan Hari-5: UBAH FREKUENSI

Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu frekuensi dirinya.

Di dunia ini bersliweran jutaan gelombang radio. Gelombang radio itulah yang ditumpangi siaran radio, televisi maupun sinyal ponsel kita. Tetapi kita hanya bisa menikmati salah satu saja, yakni bila frekuensi dari alat penerima kita sudah kita samakan dengan frekuensi pemancar.

Ternyata seperti itu pula hubungan komunikasi di dalam diri manusia, antara manusia dengan manusia lain, dan antara manusia dengan Sang Pencipta.

Ada manusia yang tidak mampu mendengar suara hati nuraninya. Akal dan perasaannya ada pada frekuensi yang berbeda, sehingga perasaannya tidak mengikuti apa yang dibenarkan oleh akalnya. Ada dokter yang tahu bahwa merokok itu merusak kesehatan, tetapi keinginannya untuk merokok tidak dapat dihindarinya. Ada juga ustadz yang tahu bahwa riba itu haram, tetapi keinginannya untuk memiliki barang mewah sekalipun dengan kredit ribawi tidak dapat dicegah. Demikian juga ada ustadzah yang kenal hukum wajibnya menutup aurot dengan jilbab (gamis) dan khimar (kerudung), kalau mengisi pengajian juga berbusana lengkap, tetapi ternyata kalau menemui tetangga di halaman rumah kerudungnya sering dilupakan. Lebih ironis lagi, ada seorang pejabat publik, tokoh suatu gerakan Islam, Doktor lulusan Timur Tengah, tetapi terbukti di pengadilan telah melakukan tindak pidana korupsi. Yang dikorupsi juga dana yang secara spesifik merupakan titipan umat Islam. Ternyata frekuensi akal dan perasaan mereka belum sama. Kepribadian mereka masih terbelah.

Getar frekuensi yang sama antara akal dan perasaan itu hanya bisa diraih bila orang semakin sering menyamakannya. Artinya, semakin sering orang memaksa amalnya mengikuti kebenaran yang dikenal akalnya, maka akan semakin mudah dia tersentuh dengan kebenaran. Tak heran Islam mensyaratkan mukallaf (orang yang dikenai beban hukum) itu harus orang yang berakal sehat. Akallah yang dapat mengenali kebenaran. Sedang perasaannya (hawa nafsunya) harus dapat ia kendalikan sendiri.

Dalam hubungan antar manusia, kita sering mendapatkan ada orang-orang yang mudah mengerti maksud kita, dan kitapun mudah mengerti maksud mereka, tetapi ada juga yang sulit. Akibatnya sering timbul salah paham antar manusia. Kata seorang ahli komunikasi, 50% problem di dunia itu karena mis-komunikasi. Mis-komunikasi inilah yang menyulut dari perceraian hingga peperangan. Karena itu tidak ada salahnya, agar komunikasi kita efektif, kita mencoba menyamakan frekuensi dengan lawan bicara. Kata Rasulullah, "Sampaikan Islam dengan bahasa yang dimengerti kaummu". Untuk mengerti frekuensi lawan bicara, kita perlu mengetahui latarbelakangnya. Misalnya, dia berasal dari mana, keluarganya seperti apa, pernah sekolah di mana saja, kerjanya sekarang apa, hobbynya apa, kawan atau lawan dia siapa, pernah atau sedang menghadapi masalah apa saja, dan sebagainya. Dengan bekal itu, mungkin kita bisa empati. Kalau dia bersikap kasar, atau acuh tak acuh, atau bahkan antipati dengan kita, kita bisa mengerti. Dan dengan bekal itu kita bisa mencari frekuensi yang lebih tepat.

Namun yang paling penting adalah mencari frekuensi yang paling tepat dalam berhubungan dengan Tuhan. Tuhan adalah Zat Yang Maha Tahu tentang segala sesuatu, termasuk tentang diri kita. Dia Maha Tahu apa yang terbaik bagi kita. Oleh karena itu dia berikan hidayah baik yang tersurat di dalam Qur'an, maupun yang tersirat di alam semesta dan di berbagai kejadian yang kita temui dalam kehidupan. Tetapi tidak semua hidayah itu dapat kita tangkap. Karena frekuensi kita belum kita samakan dengan frekuensi Tuhan.

Tak heran, banyak orang, meski mengaku sama-sama menjadikan Qur'an sebagai referensi, tetapi pemahamannya bisa berbeda, bahkan bisa berseberangan. Ini karena di antara mereka masih berbeda frekuensinya dalam memahami "sinyal Tuhan". Perbedaan frekuensi ini bisa karena perbedaan dalam mengenal bahasa dan budaya Arab, perbedaan dalam memahami realitas fakta yang dihukumi, atau juga perbedaan kepentingan dalam masalah itu.

Karena itu, para ahli ilmu di zaman dahulu selalu berendah hati. Mereka memahami bahwa ijtihad itu - selama dijalankan dengan metode yang sah - hasilnya bisa benar dan juga masih bisa salah. Kalau benar dapat dua pahala, kalau salah dapat satu pahala (karena telah menggunakan metode yang sah). Imam Syafi'i mengatakan,

كلامي صواب يحتمل الخطأ و كلام غيري خطأ يحتمل الصواب

Pendapatku benar dan mungkin bisa saja salah, sedang pendapat orang lain salah dan mungkin saja benar.
Maka, para ilmuwan zaman dahulu, mencurahkan usaha yang maksimal dalam menyamakan frekuensinya dengan frekeunsi Ilahiyah, agar maksimal dalam mengenal kebenaran yang sejati. Rasulullah pernah mensyariatkan, bahwa para sahabat yang ingin bertanya tentang suatu persoalan kepada beliau, dianjurkan untuk shadaqah dulu kepada faqir miskin. Shadaqah itu memuluskan jalan menyamakan frekuensi mereka dengan frekuensi pelajaran yang akan diberikan Nabi. Untuk itu, bahkan para saintispun, setiap kali menemui kesulitan di laboratorium, atau akan menuliskan hasil risetnya, mereka sholat sunat memohon kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui, agar diberikan kekuatan, sehingga apa yang dituliskannya itu benar, dapat bermanfaat bagi umat manusia, bisa menginspirasi orang-orang berikutnya, benar-benar diperlukan dalam kehidupan dunia dan akherat, dan telah disampaikan dengan hikmah dan cara yang baik.

Mestinya Ramadhan adalah bulan untuk merubah frekuensi kita. Setiap amal fardhu dan nafilah di bulan ini diharapkan bisa menjadikan kita lebih mudah menyamakan frekuensi kita dengan frekuensi Ilahi. Mudah-mudahan, mulai masuk malam-5 bulan Ramadhan, kita sudah bisa merubah FREKUENSI kita, agar Allah merubah nasib kita. [Fahmi Amhar]

BULAN PERUBAHAN - Ramadhan Hari-4: UBAH REFERENSI

Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu seperti apa referensinya.

Ada objek yang sama, dilihat oleh pancaindera yang sama, bahkan oleh orang yang sama - di waktu yang berbeda. Tetapi kesimpulan yang dihasilkannya bisa sangat berbeda. Kenapa? Karena begitu informasi itu sampai ke otaknya, informasi itu akan dinilai oleh suatu referensi. Maka begitu referensi itu sudah berbeda, sikap terhadap informasi itu menjadi sangat berbeda.

Di dunia bisnis ada acuan standar kesehatan bank, misalnya angka-angka CAR (Capital Asset Ratio) atau LDR (Loan Deposit Ratio). Ini adalah referensi. Kalau CAR dan LDR meleset dari batas toleransi, maka Bank itu dapat dipastikan tidak sehat, atau bahkan perlu masuk "ICU". Yang repot adalah kalau referensi itu diubah untuk kepentingan tertentu. Jadilah kasus seperti Bank Century.

Dalam dunia teknik juga ada banyak standar. Misalnya standar kualitas udara, standar keamanan pesawat, dsb. Semuanya membutuhkan sebuah referensi. Kalau ingin kualitas udara lebih baik, atau dunia penerbangan lebih aman, tak jarang dunia melakukan konferensi untuk mengubah standar tersebut. Dan sejak itu, konsensus dari konferensi itu dijadikan referensi baru. Mengubah referensi berarti mengubah keadaan.

Itu terjadi dahulu maupun sekarang. Setelah masuk Islam, Umar bin Khattab yang tadinya seorang yang bengis dan ingin membunuh Nabi, tiba-tiba menjadi orang yang mudah meneteskan air mata dan siap mati membela Nabi. Sekarang ini, ada bintang rock yang semula begitu bangga dikagumi di arena konser, tiba-tiba menolak untuk menyanyi lagi di konser yang sama, dengan bayaran berapapun. Ini karena mereka telah menilai hidupnya dengan referensi yang berbeda. Kita berbicara tentang sosok seperti Cat Steven (Yusuf Islam) dan Harry Moekti.

Tanpa sebuah referensi, orang selalu akan diombang-ambingkan pendapat orang.
Dan ini bisa sangat berbahaya ketika itu menyangkut masalah yang amat penting, yakni tentang: Dari mana, mau kemana dan untuk apa manusia hidup di dunia ini? Dengan pedoman apa? Apa standar keberhasilannya?

Ada kisah Lukman dan anaknya, yang pergi ke kota bersama dengan membawa seekor keledai.
Ketika anaknya dinaikkan keledai dan Lukman jalan kaki, ada yang berkomentar, "Anak tak tahu diri, enak-enakan duduk di keledai padahal ayahnya yang sudah tua disuruh jalan kaki".
Ketika Lukman yang naik keledai dan anaknya jalan kaki, ada yang berkomentar, "Ayah tak tahu diri, enak-enakan duduk di keledai, anaknya masih kecil disuruh jalan kaki".
Ketika Lukman dan anaknya duduk berdua di atas keledai , ada yang berkomentar, "Ini ayah dan anak tak tahu diri, keledai sekecil ini dinaiki berdua, dasar penyiksa binatang".
Ketika Lukman dan anaknya akhirnya jalan kaki, ada yang berkomentar, "Dasar orang-orang dungu, punya keledai koq dibiarkan nganggur, tidak dinaiki".
Akhirnya Lukman mengambil kayu, lalu keledai itu dipikulnya bersama anaknya. Tentu saja ada lagi yang berkomentar, "Dasar orang-orang gila, masak keledai sehat bisa jalan sendiri koq malah dipikul".

Maka Lukman berkata kepada anaknya, "Lihatlah anakku, kalau kita mengikuti kemauan orang, maka pendapat mereka itu bermacam-macam dan saling bertentangan. Karena itu, ikutilah pendapat Yang Menciptakan kita, karena Dia hanya ada satu".

Itulah, dengan suatu referensi, kita akan menjadi orang yang kokoh dan jelas sikapnya, tidak terombang-ambing.
Persoalannya adalah, dalam masalah hakekat hidup manusia di dunia ini, banyak kitab yang dianggap suci, banyak sosok yang dianggap Nabi, dan banyak Zat yang dianggap Tuhan. Lantas yang mana yang pantas dijadikan referensi ?

Tentu, sebelum memutuskan menggunakan referensi yang mana, kita hanya memiliki satu alat, yaitu akal yang sehat.

Kalau dengan akal sehat kita melihat alam semesta ini, kita dapat merasakan bahwa pastilah ada Sang Pencipta di balik semuanya ini, yang berbeda dengan alam semesta itu. Semua manusia bisa merasakan hal ini. Hanya saja, kalau berhenti di sini, kita masih belum tahu, apa sifat-sifat Tuhan dan apa maunya Tuhan tersebut. Kita masih memerlukan informasi dari Tuhan. Sama seperti tadi kita meyakini punya nenek canggah (nenek dari nenek), tapi seperti apa dia, dan apa pesan-pesannya sewaktu masih hidup, kita tidak bisa tahu langsung. Kita memerlukan pembawa pesan yang pernah berkomunikasi langsung. Untuk nenek canggah, pesan itu harus dibawa orang secara turun temurun. Untuk Tuhan, pesan itu harus dibawa oleh orang yang disebut nabi/rasul. Jadi kuncinya, adalah, bagaimana kita memastikan bahwa sang pembawa pesan itu benar-benar nabi, atau dia dapat otoritas dari Tuhan. Untungnya itu hal yang bisa dipikirkan secara rasional, bukan dogmatis.

Untuk memastikan seseorang itu nabi utusan Tuhan, maka dia harus membawa mukjizat yang superior terhadap kemampuan tercanggih manusia. Mukjizat itu harus melemahkan semuanya (kata mukjizat sendiri artinya "melemahkan"). Nabi Musa diberi mukjizat dengan kemampuan mengalahkan semua sihir, padahal dia tidak pernah belajar sihir. Nabi Isa diberi mukjizat dengan kemampuan mengobati segala hal, bahkan membangkitkan orang mati, mengalahkan semua tabib, padahal dia tukang kayu yang tidak pernah belajar pengobatan. Nah Nabi Muhammad, diberi mukjizat berupa bacaan (Qur'an = bacaan), yang mengalahkan semua penyair Arab. Eloknya, mukjizat Nabi ini bisa kita saksikan sampai hari ini !!! Qur'an itu bacaan yang kompleks dan sangat rapi, ada aspek bahasa, ada kesesuaian numerik, ada sejarah, dan ada pernyataan futuristik yang tidak satupun menyalahi sains modern yang baru ditemukan kemudian, dsb.

Dan kemungkinannya cuma tiga:
1. Qur'an itu karya jenius Muhammad sendiri -- tapi aneh, karena beliau juga mengucapkan hadits, dan gaya bahasanya beda, lagipula beliau ini ummi, orang yang tidak bisa membaca & menulis, apalagi menyair.
2. Qur'an itu plagiat atau dibuatkan orang lain -- tapi siapa? Zaman nabi tidak terbukti seorangpun. Para penyair yang paling terkenal saat itupun tidak berhasil mengimitasi, sekalipun hanya surat pendek seperti al-asr.
3. Qur'an itu memang wahyu seperti yang dinyatakan Muhammad, dan itu berarti dia utusan Tuhan.

Dari semua kemungkinan itu, hanya opsi ketiga yang rasional.
Karena itulah syahadat itu serangkai: membenarkan keberadaan Allah yang esa (tidak ada tuhan selain Allah), dan membenarkan kerasulan Muhammad, dengan bukti mukjizat kitab al-Qur'an.

Semua rasional, tidak dogmatis.

Setelah mengimani Allah, Muhammad dan al-Qur'an, maka selanjutnya kita menjadikan Qur'an dan ucapan/tindakan Nabi sebagai referensi. Di sini, peran akal tidak lagi untuk menimbang tetapi hanya untuk memahami. Kalau Qur'an mengatakan bahwa Allah memiliki banyak malaikat, ya itu kita imani. Allah akan membalas setiap amal dengan surga, itu kita imani juga. Meskipun malaikat dan surga mustahil kita deteksi dengan indera kita.

Kita analogikan dengan alat radar pesawat yang sedang terbang. Bila sebelum terbang, alat itu telah dikalibrasi, maka selanjutnya kalau radar mengatakan runway tinggal 10 mil, maka pesawat yang telah "mengimani" radar itu, langsung menurunkan ketinggian dan kecepatan, meski pilot tidak melihat runway karena awan tebal.

Mestinya Ramadhan adalah bulan untuk merubah referensi kita. Tak salah bulan Ramadhan disebut juga bulan al-Qur'an. Mudah-mudahan, mulai masuk malam-4 bulan Ramadhan, kita sudah bisa merubah REFERENSI kita, agar Allah merubah nasib kita. [Fahmi Amhar]