Tahun 2013 merupakan tahun pemanasan politik di Indonesia karena tahun 2014 akan digelar hajatan Pemilihan Umum (Pemilu). Demokrasi pun masih dianggap kompatibel diterapkan di Indonesia. Padahal mayoritas penduduknya adalah umat Islam. Umat masih silau dengan janji demokrasi berupa keadilan dan kesejahteraan. Sebaliknya, mereka takut dicap anti-demokrasi.
Terdapat juga di kalangan umat yang menyamakan
Islam dengan demokrasi. Bahkan ada yang memaksakan Demokrasi-Islam
sebagai tambal sulam dari Demokrasi-Kapitalisme yang gagal.
Apa itu Demokrasi
Demokrasi adalah (bentuk atau sistem)
pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan
wakilnya; pemerintahan rakyat (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dalam
demokrasi kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Pemerintahan dijalankan
langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di bawah setiap
pemilihan bebas. Sebagaimana ucapan Abraham Lincoln bahwa demokrasi adalah
suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Dalam setting sosio-historisnya di
Barat, demokrasi lahir sebagai solusi dari dominasi gereja yang otoritarian dan
absolut sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M). Di satu sisi ekstrem,
dominasi gereja yang berkolaborasi dengan para raja Eropa menghendaki tunduknya
seluruh urusan kehidupan (politik, ekonomi, seni, sosial, dll) pada
aturan-aturan gereja. Di sisi ekstrem lainnya, dominasi gereja ini ditentang
oleh para filosof dan pemikir yang menolak secara mutlak peran gereja (Katolik)
dalam kehidupan.
Terjadinya Reformasi Gereja, Renaissance dan
Humanisme, menjadi titik tolak awal untuk meruntuhkan dominasi gereja itu.
Akhirnya, pasca Revolusi Prancis tahun 1789, terwujudlah jalan tengah dari dua
sisi ekstrem itu, yang terumuskan dalam paham sekularisme, yakni paham
pemisahan agama dari kehidupan. Agama tidak diingkari secara total, tetapi
masih diakui walaupun secara terbatas, yaitu hanya mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan. Lalu hubungan manusia dengan manusia siapakah yang mengatur dan
membuat hukumnya? Jawabannya, tentu manusia itu sendiri, bukan Tuhan atau
agama. Pada titik inilah demokrasi lahir.
Walhasil, demokrasi memberikan kepada manusia dua
hal:
(1) Hak membuat hukum
(legislasi). Inilah prinsip kedaulatan rakyat (as-siyadah li al-syar’i).
Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya, yaitu hukum dibuat oleh para
tokoh-tokoh gereja atas nama Tuhan.
(2) Hak memilih penguasa.
Inilah prinsip kekuasaan rakyat (as-sulthan li al-ummah). Prinsip ini
kebalikan dari kondisi sebelumnya, yaitu penguasa (raja) diangkat oleh Tuhan
sebagai wakil Tuhan di muka bumi dalam sistem monarki absolut. Jadi, dalam
demokrasi, rakyat adalah sumber legislasi dan sumber kekuasaan (source of
legislation and authority).
Demokrasi sesungguhnya adalah seperangkat gagasan
dan prinsip tentang kebebasan. Demokrasi juga mencakup seperangkat praktik dan
prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan sering berliku-liku.
Pendeknya, demokrasi adalah pelembagaan dari kebebasan. Maka dari
itu, munculah kebebasan di segala aspek kehidupan. Sistem demokrasi melahirkan
beberapa poin yang akhirnya menjadi sokoguru demokrasi: (a) kedaulatan rakyat;
(b) pemerintah berdasarkan persetujuan dari yang diperintah; (c) kekuasaan
mayoritas; (d) hak-hak minoritas; (e) jaminan HAM; (f) pemilihan yang bebas dan
jujur; (g) persamaan di depan hukum; (h) proses hukum yang wajar; (i)
pembatasan pemerintahan secara konstitusional; (j) pluralisme sosial, ekonomi
dan politik; (k) nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama dan mufakat.
Demokrasi vs Islam
Jelaslah, demokrasi merupakan ideologi buatan
manusia. Akidahnya memisahkan agama dari kehidupan (sekular), kontradiksi
dengan akidah Islam. Sistemnya juga menyalahi sistem Islam karena tidak
bersandar pada wahyu Allah SWT. Demokrasi hanya bersandar pada rakyat.
Keburukan yang menonjol dari demokrasi adalah suara mayoritas dalam menentukan
kebenaran. Jelas sekali demokrasi bertentangan dengan Islam (Lihat: QS al-An’am
[6]: 116).
Islam mengharamkan demokrasi karena tiga
alasan. Pertama: perekayasa ide demokrasi adalah negara-negara
kafir Barat. Hal ini merupakan agresi ke Dunia Islam. Siapapun yang menerima
dan mendorong demokrasi merupakan antek penjajah dan kroni penjajah serta
menjadi penguasa boneka Barat. Kedua: demokrasi merupakan pemikiran
utopis, tidak layak diimplementasikan. Manakala suatu negara menerapkan
demokrasi, mereka sering melakukan kebohongan, manipulasi dan rekayasa sehingga
menyesatkan umat manusia, seperti dalam penyusunan hukum dan undang-undang. Ketiga:
sistem demokrasi adalah sistem buatan manusia. Sistem tersebut disusun manusia
untuk manusia. Pasalnya, manusia tidak bisa lepas dari kesalahan. Sesungguhnya
hanya Allah yang terbebas dari kesalahan. Karena itu, hanya sistem dari Allah
saja yang patut dianut. Dengan demikian demokrasi merupakan sistem kufur karena
tidak bersumber dari syariah Islam.
Dalam kitab Mafahim Siyasiyah li Hizb
at-Tahrir (2005) dijelaskan, demokrasi itu kufur bukan karena konsepnya
bahwa rakyat menjadi sumber kekuasaan, melainkan karena konsepnya bahwa manusia
berhak membuat hukum (kedaulatan di tangan rakyat). Kekufuran demokrasi dari
segi konsep kedaulatan tersebut sangat jelas. Sebab, menurut ‘Aqidah Islam,
yang berhak membuat hukum hanya Allah SWT, bukan manusia (QS al-An’am [6]: 57).
Itulah titik kritis dalam demokrasi yang sungguh bertentangan secara frontal
dengan Islam. Memberi hak kepada manusia untuk membuat hukum adalah suatu
kekufuran (QS al-Ma’idah [5]: 44).
Abdul Qadim Zallum (1990: 4) menjelaskan adanya
kontradiksi-kontradiksi lain antara demokrasi dan Islam, antara lain:
a. Dari segi sumber:
Demokrasi berasal dari manusia dan merupakan produk akal manusia. Sebaliknya,
Islam berasal dari Allah SWT melalui wahyu yang diturunkan kepada Rasul-Nya
Muhammad saw.
b. Dari segi asas:
Demokrasi asasnya adalah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Islam
asasnya ‘Aqidah Islamiyah yang mewajibkan penerapan syariah Islam dalam segala
bidang kehidupan (QS 2: 208).
c. Dari segi standar
pengambilan pendapat: Demokrasi menggunakan standar mayoritas. Dalam
Islam, standar yang dipakai tergantung materi yang dibahas. Rinciannya: (1)
jika materinya menyangkut status hukum syariah, standarnya adalah dalil syariah
terkuat, bukan suara mayoritas; (2) jika materinya menyangkut aspek-aspek
teknis dari suatu aktivitas, standarnya suara mayoritas; (3) jika materinya
menyangkut aspek-aspek yang memerlukan keahlian, standarnya adalah pendapat
yang paling tepat, bukan suara mayoritas.
d. Dari segi ide
kebebasan: Demokrasi menyerukan 4 jenis kebebasan (al-hurriyat).
Kebebasan adalah tidak adanya keterikatan dengan apa pun pada saat melakukan
aktivitas. Sebaliknya, Islam tidak mengakui kebebasan dalam pengertian Barat.
Islam justru mewajibkan keterikatan manusia dengan syariah Islam.
Dengan demikian, demokrasi yang telah dijajakan
Barat yang kafir ke negeri-negeri Islam sesungguhnya merupakan sistem kufur.
Tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam, baik
secara garis besar maupun secara rinciannya. Oleh karena itu, kaum Muslim
diharamkan secara mutlak untuk mengambil, menerapkan dan menyebarluaskan
demokrasi. Apalagi mengaitkan demokrasi dengan Islam.
Syura bukan Demokrasi
Anggapan bahwa syura (musyawarah) sama
dengan demokrasi telah masyhur didengar meski anggapan ini sesungguhnya tidak
benar. Anggapan itu muncul karena kafir penjajah sukses menyembunyikan
kebusukan demokrasi. Demokrasi dijadikan oleh kafir Barat sebagai salah satu
penjajahan atas negeri-negeri kaum Muslim, selain itu juga digunakan untuk
memalingkan Islam dari umatnya.
Menurut syariah, syura adalah mengambil
pendapat (akhdh ar-ra’yi) (An-Nabhani 1994: 246). Jelasnya, syura
adalah mencari pendapat dari orang yang diajak bermusyawarah (Zallum,
2002:216). Istilah lain syura adalah masyura atau at-tasyawwur.
Hukum syura adalah mandub/sunnah,
bukan wajib. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam QS Ali Imran [3]: 159.
Pendapat itu sejalan dengan para ahli tafsir seperti Ibn Jarir ath-Thabari (Jami’
Al-Bayan, IV/153), Al-Alusi (Ruh al-Ma’ani, IV/106-107),
Az-Zamakhsyari (Al-Kasysyaf, I/474), Imam al-Qurtubhi (Al-Jami’ li
Ahkam al-Qur’an, IV/249-252) dan Ibnul ‘Arabi (Ahkam al-Qur’an,
I/298). Syura adalah hak kaum Muslim semata. Pihak pemegang kewenangan
seperti khalifah, ketika hendak meminta atau mengambil pendapat, ia hanya
mengambilnya dari kaum Muslim. Tegasnya, syura adalah proses
pengambilan pendapat yang khusus di kalangan internal sesama orang Islam. Tidak
boleh dalam syura mengambil pendapat dari orang kafir meskipun boleh orang
kafir menyampaikan pendapat kepada orang Islam dan boleh kaum Muslim
mendengarkan pendapat dari orang kafir tersebut (An-Nabhani, 2001: 111).
Kekhususan ini sebagaimana dalam QS Al-Imran [3]: 159.
Memang dalam demokrasi suara mayoritaslah yang
menjadi penentu dalam setiap bidang permasalahan. Adapun dalam syura
kriteria pendapat yang diambil bergantung pada permasalahan yang
dimusyawarahkan. Rinciannya ada tiga. Pertama: dalam penentuan hukum
syariah (at-tasyri’). Kriterianya tidak bergantung pada pendapat
mayoritas atau minoritas, melainkan pada nash al-Quran dan as-Sunnah. Sebab
yang menjadi Pembuat hukum (Musyarri’) hanyalah Allah SWT. bukan umat
atau rakyat. Sebagai contoh, tidak perlu meminta pendapat kepada umat apakah
khamr haram atau tidak walaupun di situ ada kemanfaatan dan pendapatan
sebagaimana dalam sistem kapitalis-sekular. Jelas, Islam mengharamkannya.
Kedua: dalam masalah yang berhubungan
dengan aspek-aspek profesi dan ide yang membutuhkan keahlian, pemikiran dan
pertimbangan yang mendalam. Dalam hal ini, yang dijadikan kriteria adalah
ketepatan dan kebenarannya, bukan berdasarkan suara mayoritas atau minoritas.
Jadi, masalah yang ada harus dikembalikan pada para ahli yang berkompeten.
Merekalah yang memahami permasalahan yang ada secara tepat. Masalah
kemiliteran, misalnya, dikembalikan kepada pakar militer. Masalah fikih dikembalikan
kepada para fukaha dan mujtahid. Dalil untuk ketentuan ini adalah peristiwa
ketika Rasulullah saw. mengikuti pendapat Hubab bin Al-Mundzir pada Perang
Badar—yang saat itu merupakan pakar dalam hal tempat-tempat strategis—yang
mengusulkan kepada Nabi saw. agar meningggalkan tempat yang dipilih beliau
sekiranya tempat itu bukan dari wahyu (Sirah Ibnu Hisyam, II/272).
Ketiga: masalah yang langsung menuju
pada amal/tindakan (bersifat praktis), yang tidak memerlukan pemikiran dan
pertimbangan mendalam. Dalam hal ini, yang menjadi patokan adalah suara
mayoritas karena mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat memberikan
pendapatnya degan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada. Sebagai
contoh, apakah kita akan memilih si A atau si B (sebagai kepala negara atu
ketua oraganisasi), apakah kita akan keluar kota atau tidak. Masalah seperti
ini dapat dijangkau oleh setiap orang. Mereka dapat memberikan pendapatnya.
Dalil untuk ketentuan ini ketika ada dua pendapat dari para sahabat dalam
Perang Uhud. Nabi saw. mengikuti pendapat sahabat muda yang menyarankan untuk
keluar dari Kota Madinah dan mengabaikan pendapat sahabat senior yang meminta
tetap di Kota Madinah.
Dengan demikian, jelas bahwa syura berbeda dengan
demokrasi.
Khatimah
Demokrasi bukanlah jalan bagi umat Islam.
Menyamakan demokrasi dengan Islam sama saja menyampurkan yang haq dengan batil.
Hal ini bertentangan dengan Islam (QS al-Baqarah [2]: 42). Demokrasi merupakan
sistem kufur; haram diambil, diterapkan dan dipropagandakan.
Sistem demokrasi harus diganti dengan sistem
Islam dalam institusi Khilafah. Inilah jalan sahih bagi umat Islam untuk
mendapatkan kesejahteraan dan keadilan. Karena itu, segera tinggalkan
demokrasi; tegakkan syariah dan Khilafah. Insya Allah.
Sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/2013/03/04/demokrasi-sistem-kufur-2/